...Dan,
Kirimkan
Malaikat
Untuk
Pimpin
Belu...
Satu
judul dengan
satu sub
judul yang
datang dari
kepala dua
orang. Judul
Yang pertama
itu orisinil
keluar dari
mulut sobat Remy,
sedangkan
satunya; sub
judul itu
buah pikiran
dari rekan
Charles; yang
terungkap dalam
diskusi sessi
terakhir Sekolah
Demokrasi Belu
pada hari ke-tiga
di Penghujung
April 2010
yang memang
mengambil topik
utama tentang
Reformasi
Birokrasi.
Dua
pendapat di atas,
saya pilih jadi kepala tulisan lantaran diskusi kami terarah untuk
mengolah situasi birokrasi di Kabupaten Belu. Ada nada cemas plus
kecewa, tapi juga ada tertantang membangun harapan. Pasalnya, paparan
narasumber
tentang reformasi
birokrasi, yang idealnya mengacu
pada pemikian
Howard.
Sayangnya, tidak begitu karena mengalami
pergeseran dan
menimbulkan kritik
tajam; ada kesenjangan
antara konsep
dan fakta
lapangan. Ternyata,
penyimpangan
dalam tubuh
birokrasi yang
terlibat didalam
mengeksekusi
kebijakan, terjadi sebagai
akibat
melembaganya
kekuasaan politik
yang dilakoni
birokrasi yang
semestinya hanya
berperan sebagai
pembantu
administrator
Eksekutif.
Untuk
menyelami
persoalan diatas,
ada baiknya
pembahasan lebih
lanjut mengikuti
alur berpikir
David Easthon
(1953) dan
Gabriel Almod
(1966). Keduanya
mengemukakan
teori tentang
Sistem
Pemerintahan
dalam esensi
yang sama
cuma beda
ilustrasinya.
Easthon
menggambarkan
sistem politik
pemerintahan
dalam tiga
bagan utama
yaitu :
INPUT –
KONVERSI –
OUTPUT. Hal
input berkaitan
dengan :
tuntutan,
dukungan dan
apatisme.
Konversi adalah
proses mengelola
input menjadi
output. Output
merupakan hasil
proses sistem
yang bertugas
meng”konversi”
INPUT menjadi
OUTPUT antara
lain :
kebijakan dan
aplikasi
kebijakan. Hasil
ini kemudian
dikembalikan
kepada publik
untuk mendapatkan
feedback atau
tanggapan
masyarakat
terhadap sebuah
kebijakan.
Gambaran sistem
yang tidak
sederhana ini
lebih mengarah
pada hubungan
suprasturkur dan
infrastuktur
pemerintahan. Hal
mana,
penyelenggara negara
menempati posisi
sebagai
suprastruktur,
sedangkan
masyarakat berada
sebaliknya pada
posisi
infrastruktur.
Gabriel
Amond
menggambarkan
sistem
pemerintahan
dalam lingkaran
mata rantai
ekosistem yang
saling bergantung
satu sama lain.
Nyaris serupa
dengan Easthon,
Almond lebih
merincikan
kedudukan pihak
yang terlibat
dalam sistem
itu. Masyarakat
menempati mata
rantai pertama,
karena identik
dengan artikulasi
kepentingan/kebutuhan,
selanjutnya Mata
rantai kedua
ditempati oleh
partai politik
yang bertugas
untuk menerima
agregasi
kepentingan,
kemudian
mengkomunikasikan
hal kebutuhan
ini kepada
mata rantai
ketiga yaitu
Legislatif. Mata
rantai keempat
adalah Eksekutif.
Legislatif dan
Eksekutif
merupakan dua
lembaga yang
bertugas untuk
membuat
kebijakan.
Eksekutif
memerlukan
sejumlah
perangkat yang
berperan sebagai
administrator
atau yang
disebut
birokrasi.
Kebijakan yang
dihasilkan berupa
output akan
mendapat respon
masyarakat berupa
pelayanan kepada
masyarakat.
Mata
rantai ini
adalah sebuah
sistem
pemerintahan yang
menempatkan
instrumen politik
didalamnya
sebagai bagian
yang tidak
terpisahkan dalam
pengambilan
keputusan. Pada
prinsipnya,
proses
pengambilan
sebuah keputusan
berupa kebijakan
merupakan sebuah
proses politik.
Dus,
ada apa
dengan birokrasi
kita? ;
dan mengapa
perlu di
reformasi?
Reformasi
birokrasi merunut
pikiran Howard,
ada dua
solusi utama
yang coba
ditawarkan yakni
: good
governance dan
reinventing
goverment.
Pemerinthan yang
baik serta
peningkatan peran
dan kualitas
Birokrasi
melalui
sejeumlah
aktivtas
wirausaha. Hal
wirausaha
ditawarkan
sebagai sebuah
model, ketika
kritik publik
terhadap
efisiensi
penggunaan
anggaran untuk
kebutuhan
pelayanan publik
tidak berjalan
secara maksimal.
Hal itu
terjadi manakala
praktek korupsi,
kolusi dan
nepotisme telah
mencederai
hakikat birokrasi
sebagai pembantu
administrator
Eksekutif.
Di
sisi lain,
peran birokrasi
sebagai pelayan
kebutuhan
masyarakat
berubah
semangatnya
menjadi tuan
yang mesti
dilayani oleh
publik.
Indikasinya dapat dilihat dari tingginya
pembiayaan untuk
kalangan
birokrasi
daripada
pembiayaan kepada
kegiatan dan
kepentingan
publik. Lebih
menyakitkan lagi,
seluruh pembiyaan
terhadap
penyelenggaraan
sebuah mesin
birokrasi dan
sistem
pemerintahan
secara
keseluruhan
ditangung oleh
rakyat yang
berjumlah 95
persen lebih
banyak dari
pada jumlah
perangkat kerja
birokrasi itu sendiri.
Birokrasi
Kita
Merupakan
kumpulan orang-orang
hebat; dari
serius mengurusi dan melayani kebutuhan
publik, mengalami tekanan tekanan
batin karena ikut perintah atasan,
sampai yang cuek
bebek kalau tidak pas posisi, atau
kehilangan jabatan. Sistem dalam birokrasi ternyata mampu membentuk
pribadi-pribadi yang terlibat didalamnya untuk berperan .
Mawar,
dalam ulasanannya di
Mawar Alanisa's;
menyebutkan bahwa “Rasanya setiap orang tahu bahwa Pegawai Negeri
Sipil (PNS) identik dengan birokrasi yang berbelit-belit, lamban
dalam menyelesaikan pekerjaan, menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi, sigap mencari amplop dan sabetan, datang ke
kantor paling akhir tapi pulang paling awal, dan sering keluyuran
saat jam kerja.
Di
tengah lapangan pekerjaan yang begitu terbatas, fasilitas yang
ditawarkan kepada PNS sepintas bisa dibilang sangat menggiurkan. Tak
perlu kerja ngoyo tapi gaji dan tunjangan lumayan, jam kerja pendek
dan susah diberhentikan. Makanya tak heran bila setiap kali dibuka
penerimaan PNS, peminatnya selalu membludak. Tak jarang yang sampai
rela memberikan sogokan. This is (probably) the best job ever.
Bagaimana
Reformasi Birokrasi di Belu
Kembalilah
ke jalan
yang benar!.
Itu bukan
sekedar perkataan
nasehat, tetapi
lebih dari
itu, amanat
penderitaan rakyat. Karena
Demokrasi kita
adalah buah dari
kandungan nilai-nilai
ketimuran yang
mempunyai peran
besar dalam
membangun
peradaban di
Belu.
Kehidupan
berbangsa dan bernegara yang dimulai awal abad 19 lalu, dialami juga
oleh Kabupaten Belu. Harapan dan cita-cita untuk menyelesaikan
berbagai persoalan karena kemerosotan akibat dijajah bangsa asing
merupakan perhatian dan prioritas dari para pendiri-pendiri Kabupaten
ini. Berpuluh tahun sudah, Belu di masa sekarang masih menyisakan
ragam soal yang tidak mudah untuk dijawab dalam kurun waktu 5 sampai
10 tahun saja.
Instrumen
negara sebagai penyelenggara negara atau pemerintahan makin kompleks
seiring kompleksnya persoalan masyarakat berikut cara serta hambatan
dalam menyelesaikannya. Kita punya Legislatif, eksekutif, dan
Birokrasi yang siap mengerjakan semua itu dengan bantuan dukungan dan
partisipasi rakyat Belu.
Sebagai
contoh, wujud dukungan rakyat Belu jelas terlihat dari komposisi
Anggota DPRD Daerah Belu; dari alokasi 35 Kursi yang ada; PD punya
5 Kursi, Golkar dan Hanura masing-masing punya 4 kursi, sedangkan
PDIP, PAN, Gerindra, PDK; punya masing-masing 3 kursi. Selebihnya;
2 dan 1 kursi dikantongi Partai Pelopor, Barnas, Pakar Pangan, Partai
Buruh, PKPB dll. Belum terhitung partai Non Seat, hampir setiap
partai yang ikut pemilu 2009 lalu, punya ribuan pemilih. Itu bisa
jadi indikasi bahwa rakyat Belu memang cukup kreatif dalam menentukan
pilihan politiknya. Bahwa di kemudian hari, ada kecaman dari rakyat
sendiri berkaitan dengan kualitas anggota DPRD, itu soal lain.
Setidaknya, hasil ini diharapkan mampu mendorong perubahan di Belu.
Lantas,
dalam situasi yang demikian, adakah yang keliru dari cara masyarakat
kita menentukan pilihan politiknya?, ketika agregat kepentingan
masyarakat sebagai instrumen pertama yang mestinya terlayani. Apa
boleh buat, hingga kini, sejumlah kebutuhan dasar seperti air bersih,
infrastruktur yang dikerjakan asal jadi, praktek prostitusi dan judi
tanpa kontrol, penderita AIDS kian bertambah. Semua memang butuh
pembenahan dalam perjalanan waktu.
Dengan
modal dukungan birokrasi saat ini, tentunya harapan akan perbaikan
mutu pelayanan menjadi prima bukanlah angan-angan kosong. Karena di
tubuh birokrasi masih ada banyak pribadi, yang cerdas intelektual dan
cerdas emosionalnya untuk membangun Belu. Maka, reformasi birokrasi
bukanlah sebuah impian hampa. Dan, kita sebaiknya tidak perlu
mendatangkan malaikat untuk memimpin perubahan di Belu. Kita cukup
butuh Pemimpin dengan Hati dan pikiran mirip malaikat, tapi bertindak
gesit nyaris kesetanan untuk memimpin rakyat Belu, berjuang keras dan
tanpa henti menggapai perubahan. Barangkali begitu.
Blok Motabuik, 2010-2012.