Friday, February 11, 2011

Dilema Hukuman Mati Untuk Koruptor

Tulisan ini boleh jadi ketinggalan momen. Sebabnya, debat panjang menyoal topik itu; sudah terjadi tahun lalu. Yang saya ingat, debat di TV One tanggal 28 April 2010; membuka perspektif lagi tentang dilema hukuman mati bagi para koruptor.

Dilema itu berkaitan erat dengan soal keberadaban sebuah bangsa terhadap pelaku kejahatan yang bertitel koruptor. Semua pemerhati yang berdebat seakan ada di persimpangan. Meski baru diwacanakan, berada diantara dua pilihan; koruptor dihukum mati saja atau mengikuti alur dan kelaziman sistem hukum yang telah ada di republik ini.


Dan kita harus berpandangan seperti apa?, karena hal beradab yang dikedepankan. Mashab ini beralasan dengan beberapa pilihan beresiko : pilihan terhadap beberapa solusi diulas dengan pengandaian sebagai berikut : pertama; Hukuman mati punya target untuk memberi efek jera terhadap koruptor, baik yang sudah dihukum, koruptor yang belum tertangkap dan siapa saja yang berpotensi melakukan kejahatan korupsi.
Kedua: Hukuman mati diprediksi sebagai cara ampuh dan efektif yang mampu menurunkan tingkat korupsi secara signifikan. Sekedar informasi, bahwa sampai dengan April 2010, Indonesia termasuk 5 besar negara terkorup di Asia. Untuk ukuran dunia Indonesia baru memperbaiki peringkatnya yang semula berada di urutan ke 128, kini menempati peringkat 111 negara dunia. Ketiga; Hukuman mati bukan solusi karena masih ada cara lain yakni ditempatkan di Nusa Kambangan.
Keempat; hal hukuman mati menunjukkan perilaku tidak beradab dalam sejarah perkembangan sebuah bangsa. Meskipun, pandangan ini harus berhadapan dengan sisi lain dari korupsi yakni kejahatan Korupsi termasuk kategori perbuatan yang tidak beradab.

Hukuman mati maupun pilihan mengikuti kelaziman tradisi hukum positif di Indonesia; tentunya sama-sama punya akibat. Tapi apa boleh buat, hal hokum dan keadilan, apalagi hukuman bagi koruptor di Republik ini nampaknya masih bisa dinego; tergantung isi kantung.

Saya pikir, Korupsi dan Koruptor di negeri ini, nada dasarnya sama, tidak beradab. Pandangan pertama yakni kejahatan korupsi jelas tidak beradab. Sementara itu yang satunya lagi; koruptornya masih hidup dan kini sedang berkeliaran dimana-mana adalah bentuk penghisapan manusia atas manusia lain yang juga merupakan suatu tindakan yang tidak beradab, pelakunya barangkali sedang menanti; harap-harap cemas agar wacana ini jangan sampai dikanalkan menjadi aturan baku.

Kekuatiran bahwa hukuman mati bisa menyebabkan chaos, ada prediksi bahwa pelaku kejahatan korupsi seperti fenomena gunung es, berjaringan dan ada dimana-mana. Dalam sekejab, pasti makan banyak korban dimana-mana; terutama para aparat penyelenggara negara. Dapat dibayangkan, kemacetan urusan birokrasi bisa menyebabkan terhentinya pelayan publik yang dapat berakibat pada sebuah situasi chaos secara nasional. Maka solusinya ada tawaran bahwa Hukuman Mati boleh saja, yang penting perlu ada pembatasan. Hukuman mati diperuntukkan khusus bagi mereka yang makan uang negara sampai diatas 500 Milyar. Tapi, Pertanyaannya lantas mereka yang korupsi dibawah angka 500 M itu masih bisa berkeliaran sambil melakukan korupsi secara sistematis. Mereka bisa saja bersiasat memecah nilai uang sebanyak 500 M menjadi potongan-potongan yang lebih kecil supaya bisa lolos dari hukuman mati.

Merujuk pada ketentuan UU No. 20 tahun 2007 tentang Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, yang melahirkan KPK, berikut munculnya sejumlah tim ini dan itu untuk membongkar kejahatan memalukan ini. Toh, kembali lagi pada sikap mental bangsa ini. Yang pasti, rakyat tidak korupsi karena sesuai dengan ketentuan; yang namanya korupsi itu hanya berkenaan dengan 3 instrumen penting yakni Uang negara, Pejabat negara, dan kerugian negara. Para pelaku penegak hukum dan semua yang bekerja atas nama hukum, telah disumpah untuk menjalankan tugas negara, malah ‘terperangkap’, kalau tidak mau dibilang sengaja menjerumuskan diri kedalam lingkaran setan korupsi.

Bagaimana jika hukuman mati itu dicoba saja dulu... Apakah punya dampak sistemik terhadap penurunan tindak kejahatan korupsi atau paling kurang meningkatkan kinerja sistem birokrasi kita, atau malah sebaliknya?
Apapun itu, saya sepakat tentang perbaikan mental dan itu bukan ada pada wilayah perilaku rakyat, tetapi lebih berkenaan dengan urusan kelakuan pejabat negara. Karena, sekali lagi... sesuai dengan ketentuan UU dan PP tentang tindak pidana korupsi, semua hal yang namanya Korupsi itu, sudah barang tentu berada dibawah kendali dan menjadi wilayah tabiat para penyelenggara negara. Pejabat negara yang disumpah menurut hukum Indonesia, agama dan keyakinannya masing-masing. Jadi, yang perlu gugat justru sesuatu yang lebih bersifat moralitas para pelaku penyelenggara negara daripada ribut soal harus dihukum mati atau tidak.

Rakyat di bangsa ini elastis, dinasmis alias tidak kaku. Tingkat ketahanannya sudah teruji. Lihat saja, jaman kolonial meski lamanya sampai 3,5 abad. Rakyat kita tahan banting, tetap berjuang meski dengan bambu runcing melawan meriam, toh merdeka juga. Jadi dihukum mati atau tidak, itu bukan soal rakyat, tapi soal moralitas aparatur negara. Sebagai bangsa yang beradab, yang “katanya” kuat jatidirinya dengan ramah tamah, sopan santun, ternyata menyimpan ribuan koruptor yang lebih biadab daripada bangsa Barbar yang membunuh secara langsung rakyatnya. Tindakan korupsi adalah hal membunuh yang dilakukan secara perlahan kepada rakyatnya sendiri. Terjadi penghisapan manusia Indonesia oleh anak bangsanya sendiri.

Lantas, bagaimana pertangungjawaban moral semua penyelenggaran negara yang disumpah itu? Cape deh.., karena moralitas hanya milik para imam, ulama dan pendeta-pendeta... aparatur kita cuma umat biasa, punya peluang buat kejahatan, ujung-ujung kan bisa minta ampun alias bertobat lagi.

Tapi sepertinya, soal kita bukan itu... soal kita adalah segala sesuatu yang mestinya menjadi hak Rakyat, diambil secara halus, sistematis. Nah kalau akibat kejahatan ini, menimbulkan dampak sistemik? Saya sejutu. Karena memang berpengaruh terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat di republik ini.

Entahlah..., hukuman bagi koruptor itu mati atau seumur hidup? Kita masih akan terus menyaksikan perdebatan tiada henti tentang beradab atau tidak beradab...
Tapi kita percaya, bahwa bangsa kita ini, bangsa beradab. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki cara-cara yang biadab dengan cara-cara yang beradab. Karena kejengkelan dan kemarahan kita terhadap kejahatan korupsi yang biadab itu mesti dihadapi dengan perbaikan sistem manajerial dan kontrol. Penyelenggara negara harus kembali kepada semangat birokrasi yang bertugas sebagai alat bantu eksekutif dalam menjalankan amanat penderitaan rakyat.

Mereka harus benar-benar kembali ke khitohnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang lebih berfungsi secara esensial sebagai pelayan dan bukan sebagai tuan di kantor-kantor pemerintah. Karena mereka direkrut oleh negara sesuai dengan kompetensi, kapabilitas serta profesionalitasnya dan punya itikad baik untuk mengabdikan seluruh hidupnya untuk membantu rakyat. Rakyat, yang setor pajak saban tahun untuk pembiayaan negara ini.

Itulah yang disebut dalam dunia modern sebagai etika profesionalisme. Good governance atau reinventing birokrasi masih menjadi harapan kita dalam konteks negara berkembang, kalau kita mau maju maka; perbaiki sistemnya supaya semua orang Indonesia selamat dari ancaman kebiadapan perilaku anak bangsa sendiri karena kejahatan korupsi.

Akhirnya, kita tidak mesti menjadi bangsa yang biadab untuk menyelesaikan beban sejarah ini. Marilah kita tetap sebagai sebuah bangsa, menggunakan keberadaban kita sebagai rakyat untuk membantu para penyelenggara yang terindikasi korup untuk berbakti dengan janji dan sumpahnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Bukankah Menyelamatkan kepentingan rakyat adalah tugas semua kita! Karenanya, kita harus menolak segala bentuk kelaliman yang terjadi akibat arogansi pemegang kekuasaan yang dilegitimasi oleh rakyat.

Pertanyaan kita adalah : apa salah rakyat?. Padahal mereka memegang kedaulatan dan memberikan kepercayaan dan kuasa hidupnya kepada penyelenggara kekuasaan untuk mengurusi nasib dan kehidupan rakyat; supaya meningkat derajat kualitas hidupnya.
Catatan tambahan: hukuman mati?, enak sekali. Kejahatannya sistemik, hukumannya sederhana sekali; cuma sekali klik langsung wafat. Itu mungkin tidak setimpal. Yang setimpal adalah, koruptor harus dihukum berat dan menjalaninya supaya orang lain tidak korupsi lagi. Efek jera berimbas dan merambah pada keluarga dan kenalan, bayangkan mereka harus ditolak dimana-mana karena perilaku korupsi, menangung malu sepanjang sejarah bangsa, dikenang dengan hal yang biadab karena korupsi, mungkin itu bisa berdampak pada lahirya sebuah gerakan bersama yakni pertobatan nasional untuk tidak korupsi lagi.Sekian.

Engkol di Atambua, Februari 2011

PrivateSchollExam

How To Recondition Old Batteries And Save $$$"

Quicky & Easily to Learn Anatomy and Physiology