Marla, ibu 32 tahun. Kami bertemu beberapa tahun yang lalu karena
urusan kantor. Ia lalu menjadi sahabatku karena ia orang baik, terlalu sering membantu
melancarkan urusan-urusan kantor. Selain
cantik, dia juga luwes dalam bergaul. Kalau dia datang, keceriaan biasanya hadir
mengusir kejenuhan rutinitas kerja.
Di suatu senja, sehabis mengerjakan tugasnya, ia menahan langkahku
untuk segera pulang. Kami lalu bercerita. Banyak hal kemudian terungkap,
mengalir begitu saja, ibu malang ini seperti menumpahkan semua gundah di
hatinya. Aku mendengar sambil sesekali menyela dengan beberapa perkataan agar
dia tetap tabah. Hingga suatu ketika aku akhirnya berujar begini, “Tetaplah
bersyukur dalam susah dan gembira”.
Beginilah kisahnya,
Ibu Marla memulai ceritanya dengan bertanya kepadaku, “Kak, menurutmu
apakah jalan hidup dan nasib kita ini sudah ditentukan Tuhan?, atau kita harus
memperjuangkannya?". aku merenung sejenak sebelum buru-buru menjawab. Wah, ini
soal serius rupanya. Belum sempat kujawab, dia berujar lagi. "Kak, aku rasa
salah memilih pasangan hidupku. Karena selama
5 tahun ini, aku hidup dalam penderitaan yang panjang karena suamiku. Dia terlalu
memikirkan dirinya sendiri, kasar dan jarang pula menafkahi kami, sampai memiliki
dua orang anak".
Aku merasa salah, karena aku sudah meninggalkan semua yang aku miliki
sebelum bertemu dengannya. Karier yang baik, sahabat dalam lingkaran pergaulan
yang boleh dibilang lebih baik.
Ibu Marla terus bercerita dengan linangan air mata, tentang galau
dihatinya, tentang keluarga, anak-anaknya dan terutama suaminya.
Suatu ketika, ibu mertua mengunjungi kami bertiga, ketika suamiku
pergi ke luar kota. Saat itu aku benar-benar kehabisan uang. Tapi bagiku itu hal biasa, situasi macam
begini sudah terlalu sering kami alami. Saat makan, ibu mertuaku terkejut,
karena aku membuat kuah bawang yang dicampur sedikit minyak. Dua anakku, Lidya dan Tio melahap dengan
nikmatnya. Ibu mertuaku malah tidak tahan, lalu buru-buru merogoh kantongnya,
maksudnya agar bisa membelikan lauk. Tapi aku menolaknya. Aku mengatakan kepada
mertuaku, beginilah aku mendidik anak-anakku agar mereka tidak menuntut,
biarlah mereka terbiasa dengan penderitaan asalkan tidak sakit atau kelaparan,
yang penting mereka tumbuh menjadi kuat.
Aku lalu menyela sekaligus menjawab pertanyaannya tadi. "Well..., kita
yang hidup ini menulis semua rencana kita di papan tulis dan serahkan
penghapusnya kepada Tuhan. Ibu Marla, ada
baiknya engkau merasa menjadi orang yang bersyukur karena diberikan berkat
seperti itu!, meski jalannya penuh luka. Tuhan punya rencana sendiri. Mungkin saja,
cara hidupmu secara fisik belum baik saat ini, tapi kualitas imanmu barangkali
jauh lebih baik dari masa lalu, maka tetaplah bersyukur dalam susah dan gembira”.
Ibu Marla merenung sebentar dan akhirnya bicara. "Ia kak, Aku sadar
bahwa ketaatanku tidak lagi kepada dunia, tetapi kepada Tuhan sang empunya
kasih. Semua pengalaman di masa lalu memberi semangat untuk tetap bertahan. Hidupku
tidak pernah akan kembali lagi ke masa lalu, karena aku harus berjalan dan
melihat masa depan. Aku terus bertahan dengan kenyataan hari ini, untuk menjadi
terbaik di setiap harinya".
Ia melanjutkan lagi...
Anak-anak kami lahir, dan itu
menjadi berkat bagi keluarga. Dan sang
suami belum juga berubah. Dia masih asyik dengan dunianya sendiri, suka bermain,
dan hidup dalam kemeriahan ala perutnya.
Tapi bagiku, kualitas iman dan diriku, puji Tuhan jauh lebih baik saat
ini. Karena ukuran yang aku pakai di masa lalu, tentang gaji yang lebih besar,
teman yang aku punya, gaya dan cara
hidup yang lebih mapan, semua sudah hilang sejak menikah dengan pria ini,
suamiku. Aku benar menderita beberapa tahun karena kehilangan itu semua. Tapi
kemudian, karena dialah, suamiku.. aku lalu membangun hidupku, semua berkat
pertolongan Tuhan yang datang setiap saat tanpa aku sadari. Aku mengerti, benarlah
perkataan-Nya, bahwa Iman bertumbuh dalam penderitaan.
Saat ini, hatiku begitu damai; karena aku tidak mendendam, aku tidak
pemarah, aku juga tidak cemburu. Suamiku pernah meminta untuk bercerai, tapi aku tidak mau. Karena, aku
tetap mau hidup tanpa perceraiaan, maka jika dia yang mau pergi, aku tidak perlu menahannya.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, kesabaranku kembali teruji.
Satu-satunya hal yang sangat aku kuatirkan sejak dulu adalah perselingkuhan. Dan,
suamiku melakukannya. Dia tidak berhenti sampai disitu, dia juga menghinaku di
depan selingkuhannya. Perempuan itu, bicara tanpa beban denganku, bahkan
mendesakku untuk melepaskannya. Aku
menangis lagi dan terus berjuang membendung kebencian yang menghantam kesabaranku.
Saat itu, kemurahanNya kembali terjadi padaku. Aku tidak marah, bahkan
dengan sabar dan aku tau itu hikmad dari Tuhan. Begini kataku kepada perempuan
itu; "Saya tidak bisa sepertimu,
meninggalkan suami demi seorang pria lain. Kalian barangkali punya hasrat yang
sama untuk saling meninggalkan orang-orang yang mencintai dan mengasihi kalian
tanpa pamrih. Lalu setelah ini, pernahkah kalian membayangkan apa yang terjadi? maaf, saya tidak sepertimu!".
Di waktu teduh, aku ingat sabdaNya, “Jika engkau melakukan untuk
saudaraku yang paling hina ini, engkau juga melakukannya untukKu. Aku tidak ingin menghakimi suamiku dengan
mengatakan bahwa ia seorang yang hina. Tapi perbuatannya telah menghina
kekudusan sakramen perkawinan kami. Karena itu, aku ingin mencintaimu dengan
kasih yang lebih besar.
Rasanya tidak adil jika menjadikan anak-anak sebagai alasan kenapa aku
bertahan. Aku mau dan bisa bertahan karena aku yakin, Tuhan mengirimnya kedalam
kehidupanku sebagai berkat. Setiap saat, doaku tidak pernah berubah hingga hari
ini, bahkan jika Dia mengijinkan, aku rela melakukannya hingga maut memisahkan
kami.
Doaku sama, dan belum berubah, “Tuhanku, berilah aku kekuatan untuk
terus mengasihi berkat-Mu bagi hidupku”. Dia telah banyak melakukan hal yang salah,
ampuni dia. Jika engkau mau menghentikan penderitaanku, maka kuasa-Mu lah yang akan memperbaikinya.
Saat malam, kadang aku terjaga. Diam-diam kupandangi anak-anakku satu
persatu. Dan hayalanku melayang jauh di masa depan. Entah kapan.., tapi aku
yakin hal itu akan terjadi. Bahagia rasanya menjadi ibu. Mungkin di masa itu,
anakku perempuan tertua akan bilang begini kepadaku, “Mama, istirahatlah, mari
aku bantu, mama terlalu lelah untuk bekerja lagi..., atau anakku yang kedua,
putraku menjemputku dari rumah tua kami ke tempatnya...
Lalu, dimanakah suamiku saat itu?... masihkah ia bersamaku.. atau kami
bertiga sendirian? Aku tidak menemukan jawabannya, dan yang lebih penting, aku
tidak gelisah untuk mendapatkan jawabannya.
Aku memang suka menghayal... dan beberapa diantaranya memberiku
semangat untuk tetap bertahan dengan terus taat pada perintahNya. Pernah di
suatu senja, saat duduk di serambi depan menonton anak-anak bermain. Putriku
datang menghampiri, dan aku belum tersadar dari lamunanku. Dia tiba-tiba
berdiri didepanku, dan berkata begini; Mama, coba tersenyum sedikit, karena
kalau mama tersenyum, Lidya bisa bermain dengan senang... aku tersadar, rupanya pandanganku satu jam yang lalu, telah
membawaku larut dalam banyak soal dalam keluarga kami dan itu ternyata membawa
pengaruh buruk buat anakku. Aku tidak melakukannya lagi dihadapan anak-anakku,
bahkan di depan orang lain.
Begitulah kisah Ibu Marla..
Mendengar semua ceritanya, aku hanya bisa menguman perlahan. Ternyata masih
ada juga anak manusia yang punya kisah macam begitu. Aku keliru karena
melihatnya sebagai perempuan yang malang. Tidak, dia ibu yang berbahagia,
karena penderitaan membuat dia jauh lebih kuat, memiliki damai di hati dan diberikan
kemampuan untuk membesarkan anak-anaknya. Dia ibu luar biasa, karena terus
melanjutkan kasih yang diterimanya dan akan diwariskan kepada anak-anaknya dan
sesamanya.
Malam itu aku pulang sambil terus mengingat doanya, “Tuhan, tolong aku
untuk tetap membuatku Kuat menjaga
berkat-Mu yang satu ini, suamiku”.
Kupang, 5
Juni 2012