“Jangan
sia-siakan waktu, telpon dan tengoklah beliau sebentar saja, ucapkan selamat
pagi, tanyakan mimpi apa beliau semalam, tanyakan makan apa beliau hari ini,
buatlah sesuatu agar dia bisa tertawa...!”.
Itu
penggalan kalimat dari cerita 2 tahun lalu, tepatnya di Kupang, 20 April 2010.
Mungkin sedikit dari kisah ini, ada juga di hati dan pikiran pembaca semua…
Aku
mulai menulis kembali setelah sekian bulan membisu dalam gerak yang lain. Dan
malam ini, kami baru saja selesai berdoa bersama keluarga untuk mengenang 2
tahun kepergiannya. Semua tidak buru-buru pamit, beberapa saat masih aku
habiskan bercengkerama dengan sanak saudara; bercerita kembali tentang
potongan-potongan kisah tentang ayahku, ayah kami.
Aku
pulang dan terdiam di kamar, foto dalam bingkai itu aku pandang baik-baik..
hati kecil berguman lirih, aku rindu … Kami saling menatap seperti tidak ingin
saling melepaskan.. dan air mataku terlepas begitu saja ke lantai... beberapa
titik malah masih singgah di ujung celanaku.
HP yang yang tergeletak karena
tidak terusik sejak pagi tadi, aku raih selekasnya. Beberapa kalimat aku tulis,
“Kami semua rindu bapa, pemimpin, pelindung yang memelihara sampai kita semua
bisa seperti sekarang ini”.. pesan singkat itu aku kirim untuk semua saudara dan
saudariku… karena aku yakin suasana batin kami semua tidak jauh berbeda…
“lara”…
Ia
pemimpin, karena aku belajar banyak dari kerja keras, prinsip dan ide-ide
cemerlangnya. Kebaikan hatinya mampu memimpin banyak hati orang-orang kami. Ia
seperti menguasai keinginan orang-orang yang pernah dekat dengannya. Memiliki
kemampuan “merasa” luar biasa. Ia juga yang memperkenalkan kepadaku tentang bagaimana berurusan dengan
banyak orang. Dari sana kami belajar untuk menyapa dan menyentuh orang lain.
Bahwa harus ada kerelaan, berkorban dan memberi waktu, tenaga, pikiran sampai
kadang-kadang lupa dengan kepentingan diri sendiri. Ketulusan untuk menempatkan
kebaikan dan kebahagian orang lain menjadi lebih utama.
Waktu
kecil dan bertumbuh menjadi remaja, aku sering jengkel diam-diam karena tidak
berani. Yang kami lihat, meski sedang sakit, kadang ia masih memaksakan diri
untuk bangun dan keluar dari bilik, dan bunda biasanya hanya menemani tanpa bicara hanya untuk bertemu dengan orang
siapa saja yang datang. Ironinya, waktu ayah benar-benar sakit dan yang tidak
bisa bangun. Jarang ada orang yang datang menjenguk. Tapi ia tidak pernah
mengeluh, hanya bisa tersenyum. Tatapannya tidak meminta iba siapapun. Ia tetap keras dengan
prinsip-prinsipnya.
Suaranya
bertenaga, benar-benar bertenaga. Selama hidup, aku belum pernah melihat ada
seorangpun yang pernah menolak suaranya, barangkali karena Ia bijaksana.
Kecerdasannya memang digunakan untuk
menyetuh sesama yang lain. Ia melakukan tanpa diminta.
Dulu,
yang namanya kesulitan hidup bukan hal baru, itu keseharian bagi kebanyakan
orang-orang kami. Kalau dihitung-hitung, sebenarnya hidup kami harus diatas
rata-rata. Keduanya memiliki pekerjaan, hasil kebun, kami punya. Apalagi
ternak, kami bahkan masing-masing memiliki nama untuk setiap ternak kami. Kedua
orangtuaku mewarisi watak petani leluhur mereka.
Kenyataannya,
tidak semua itu kami nikmati. Tapi orang lain, yang selalu berurusan dengan
ayahku. Macam-macam urusannya, Nikahlah, kematian, ini dan itu... semuanya
hampir menjadi urusan kedua orangtuaku ; itu terjadi bila setiap ada urusan,
orang tuaku yang diminta, entahkan itu mendampingi, menjad orang tua wali,
menjadi juru bicara atau peran lainnya. Mereka selalu melihatnya sebagai
tanggungjawab yang harus dikerjakan dengan rendah hati dan selesai.
“Tidak
perlu pamrih, Tuhan melihat kita dalam kasihNya. Karena itu, hiduplah dengan
penuh kasih kepada sesamamu” Kalimat itu
yan g tidak pernah akan aku lupakan
seumur hidupku. Ia memberi teladan tentang pemimpin dalam banyak hal.
Di
kesempatan yang lain, ayahlu berujar begini, “kita tidak perlu mengumpulkan
harta yang emas, atau uang, rumah atau mobil ; semua yang barang-barang itu.
Itu tidak lebih penting dari manusia. Karena manusia mampu memahami dan membagi
kasihnya dengan kita. Maka dari itu, lebih baik kita kaya manusia daripada kaya
dengan harta benda. Jadikan semua orang yang lebih tua seperti orangtuamu
sendiri, saudaramu atau saudarimu, jadikan mereka seperti di rumahmu sendiri.
Aku
merasakan betul ucapannya itu, karena kecintaannya terhadap orang lain. Aku baru sadar bahwa ternyata kami memiliki
begitu banyak saudara angkat. Mereka adalah anak-anak yang dipelihara ayah dan
bunda, bahkan jauh hari sebelum kami lahir. Banyak diantara mereka yang kami
panggil dengan sebutan “kakak”...hingga hari ini.
Aku
rindu suaranya.. karena di hidupnya, Aku merasa menyia-nyiakan kesempatan
bersamanya... menghabiskan banyak waktu tanpa berarti lebih untuknya. Sampai
berpulang ke rumah Bapa. Betapa semua yang tertinggal seperti tidak
berkesudahan. Aku hanya mohon kekuatan dari Tuhan Yesus, tolong beri kekuatan yang sama, seperti yang telah
Tuhan Yesus berikan kepada Ayah dan Bunda.
Kerinduan
kami semoga lebih berarti dan lebih bertenaga untuk melanjutkan hidup dengan
harmoninya sesama dan alam semesta.
Dan...
Untuk
sahabat semua, yang masih bisa melihat ayah kalian, masih dapat menyentuh
wajahnya, meraih tangannya dan meletakannya di atas kepalamu, kalian masih bisa
memeluknya... tertawa dan tersenyum bersama...
Jangan
sia-siakan waktu, telpon dan tengoklah beliau sebentar saja, ucapkan selamat
pagi, tanyakan mimpi apa beliau semalam, tanyakan makan apa beliau hari ini,
buatlah sesuatu agar dia bisa tertawa... dan yang paling penting; mintalah agar
ia masih akan tetap berdoa untuk dirimu dan keluarga hingga akhir hayatnya...
Setiap
kehidupan akan kembali menuju jalan pulangnya masing-masing...
Maka,
lakukan itu segera dengan senang hati sebelum semuanya terlambat.. Sebelum
semuanya terlambat untuk dibuat menjadi kenangan yang terindah seperti kisah
manis banyak anak-anak di masa kecil dulu. Ayahlah yang paling sering membuat
kira seperti orang yang terhormat karena kejujuran, merasa bangga dan layak
dengan sesuatu, merasa kita memiliki diri kita sendiri, dan yang pasti dialah
orang yang pertama kali memperkenalkan diriku tentang tanggungjawab....
Lakukanlah
sekarang juga!, karena aku yakin bahwa
tentang seorang ayah; citarasa semua kita barangkali tidak jauh berbeda. Maka,
dengan caramu masing-masing, lakukanlah itu...semoga menyisakan selaksa
peristiwa di wajahnya....
Ayah..
Sang Pemimpin... Kami semua Iklhas engkau pulang, sambil tetap berdendang Ayah
aku mohon maafnya Ebiet G. Ade. Dalam doa kami sepanjang masa; Ayah, terima
kasih untuk semua yang sudah kami terima.
Blok
Motabuik, 15 Februari 2011