Saturday, June 16, 2012

Ayah



“Jangan sia-siakan waktu, telpon dan tengoklah beliau sebentar saja, ucapkan selamat pagi, tanyakan mimpi apa beliau semalam, tanyakan makan apa beliau hari ini, buatlah sesuatu agar dia bisa tertawa...!”.
Itu penggalan kalimat dari cerita 2 tahun lalu, tepatnya di Kupang, 20 April 2010. Mungkin sedikit dari kisah ini, ada juga di hati dan pikiran pembaca semua…

Aku mulai menulis kembali setelah sekian bulan membisu dalam gerak yang lain. Dan malam ini, kami baru saja selesai berdoa bersama keluarga untuk mengenang 2 tahun kepergiannya. Semua tidak buru-buru pamit, beberapa saat masih aku habiskan bercengkerama dengan sanak saudara; bercerita kembali tentang potongan-potongan kisah tentang ayahku, ayah kami.

Aku pulang dan terdiam di kamar, foto dalam bingkai itu aku pandang baik-baik.. hati kecil berguman lirih, aku rindu … Kami saling menatap seperti tidak ingin saling melepaskan.. dan air mataku terlepas begitu saja ke lantai... beberapa titik malah masih singgah di ujung celanaku.  HP yang yang  tergeletak karena tidak terusik sejak pagi tadi, aku raih selekasnya. Beberapa kalimat aku tulis, “Kami semua rindu bapa, pemimpin, pelindung yang memelihara sampai kita semua bisa seperti sekarang ini”.. pesan singkat itu aku kirim untuk semua saudara dan saudariku… karena aku yakin suasana batin kami semua tidak jauh berbeda… “lara”…
Ia pemimpin, karena aku belajar banyak dari kerja keras, prinsip dan ide-ide cemerlangnya. Kebaikan hatinya mampu memimpin banyak hati orang-orang kami. Ia seperti menguasai keinginan orang-orang yang pernah dekat dengannya. Memiliki kemampuan “merasa” luar biasa. Ia juga yang memperkenalkan  kepadaku tentang bagaimana berurusan dengan banyak orang. Dari sana kami belajar untuk menyapa dan menyentuh orang lain. Bahwa harus ada kerelaan, berkorban dan memberi waktu, tenaga, pikiran sampai kadang-kadang lupa dengan kepentingan diri sendiri. Ketulusan untuk menempatkan kebaikan dan kebahagian orang lain menjadi lebih utama.

Waktu kecil dan bertumbuh menjadi remaja, aku sering jengkel diam-diam karena tidak berani. Yang kami lihat, meski sedang sakit, kadang ia masih memaksakan diri untuk bangun dan keluar dari bilik, dan bunda biasanya hanya menemani  tanpa bicara hanya untuk bertemu dengan orang siapa saja yang datang. Ironinya, waktu ayah benar-benar sakit dan yang tidak bisa bangun. Jarang ada orang yang datang menjenguk. Tapi ia tidak pernah mengeluh, hanya bisa tersenyum. Tatapannya tidak meminta iba  siapapun. Ia tetap keras dengan prinsip-prinsipnya.

Suaranya bertenaga, benar-benar bertenaga. Selama hidup, aku belum pernah melihat ada seorangpun yang pernah menolak suaranya, barangkali karena Ia bijaksana. Kecerdasannya memang digunakan untuk  menyetuh sesama yang lain. Ia melakukan tanpa diminta.
Dulu, yang namanya kesulitan hidup bukan hal baru, itu keseharian bagi kebanyakan orang-orang kami. Kalau dihitung-hitung, sebenarnya hidup kami harus diatas rata-rata. Keduanya memiliki pekerjaan, hasil kebun, kami punya. Apalagi ternak, kami bahkan masing-masing memiliki nama untuk setiap ternak kami. Kedua orangtuaku mewarisi watak petani leluhur mereka.

Kenyataannya, tidak semua itu kami nikmati. Tapi orang lain, yang selalu berurusan dengan ayahku. Macam-macam urusannya, Nikahlah, kematian, ini dan itu... semuanya hampir menjadi urusan kedua orangtuaku ; itu terjadi bila setiap ada urusan, orang tuaku yang diminta, entahkan itu mendampingi, menjad orang tua wali, menjadi juru bicara atau peran lainnya. Mereka selalu melihatnya sebagai tanggungjawab yang harus dikerjakan dengan rendah hati dan selesai.

“Tidak perlu pamrih, Tuhan melihat kita dalam kasihNya. Karena itu, hiduplah dengan penuh kasih kepada sesamamu”  Kalimat itu yan g tidak pernah akan aku  lupakan seumur hidupku. Ia memberi teladan tentang pemimpin dalam banyak hal.
Di kesempatan yang lain, ayahlu berujar begini, “kita tidak perlu mengumpulkan harta yang emas, atau uang, rumah atau mobil ; semua yang barang-barang itu. Itu tidak lebih penting dari manusia. Karena manusia mampu memahami dan membagi kasihnya dengan kita. Maka dari itu, lebih baik kita kaya manusia daripada kaya dengan harta benda. Jadikan semua orang yang lebih tua seperti orangtuamu sendiri, saudaramu atau saudarimu, jadikan mereka seperti di rumahmu sendiri.

Aku merasakan betul ucapannya itu, karena kecintaannya terhadap orang lain.  Aku baru sadar bahwa ternyata kami memiliki begitu banyak saudara angkat. Mereka adalah anak-anak yang dipelihara ayah dan bunda, bahkan jauh hari sebelum kami lahir. Banyak diantara mereka yang kami panggil dengan sebutan “kakak”...hingga hari ini.

Aku rindu suaranya.. karena di hidupnya, Aku merasa menyia-nyiakan kesempatan bersamanya... menghabiskan banyak waktu tanpa berarti lebih untuknya. Sampai berpulang ke rumah Bapa. Betapa semua yang tertinggal seperti tidak berkesudahan. Aku hanya mohon kekuatan dari Tuhan Yesus, tolong  beri kekuatan yang sama, seperti yang telah Tuhan Yesus berikan kepada Ayah dan Bunda.
Kerinduan kami semoga lebih berarti dan lebih bertenaga untuk melanjutkan hidup dengan harmoninya sesama dan alam semesta.

Dan...
Untuk sahabat semua, yang masih bisa melihat ayah kalian, masih dapat menyentuh wajahnya, meraih tangannya dan meletakannya di atas kepalamu, kalian masih bisa memeluknya... tertawa dan tersenyum bersama...
Jangan sia-siakan waktu, telpon dan tengoklah beliau sebentar saja, ucapkan selamat pagi, tanyakan mimpi apa beliau semalam, tanyakan makan apa beliau hari ini, buatlah sesuatu agar dia bisa tertawa... dan yang paling penting; mintalah agar ia masih akan tetap berdoa untuk dirimu dan keluarga hingga akhir hayatnya...

Setiap kehidupan akan kembali menuju jalan pulangnya masing-masing...
Maka, lakukan itu segera dengan senang hati sebelum semuanya terlambat.. Sebelum semuanya terlambat untuk dibuat menjadi kenangan yang terindah seperti kisah manis banyak anak-anak di masa kecil dulu. Ayahlah yang paling sering membuat kira seperti orang yang terhormat karena kejujuran, merasa bangga dan layak dengan sesuatu, merasa kita memiliki diri kita sendiri, dan yang pasti dialah orang yang pertama kali memperkenalkan diriku tentang tanggungjawab....

Lakukanlah sekarang juga!, karena aku yakin  bahwa tentang seorang ayah; citarasa semua kita barangkali tidak jauh berbeda. Maka, dengan caramu masing-masing, lakukanlah itu...semoga menyisakan selaksa peristiwa di wajahnya....

Ayah.. Sang Pemimpin... Kami semua Iklhas engkau pulang, sambil tetap berdendang Ayah aku mohon maafnya Ebiet G. Ade. Dalam doa kami sepanjang masa; Ayah, terima kasih untuk semua yang sudah kami terima.

Blok Motabuik, 15 Februari 2011

PrivateSchollExam

How To Recondition Old Batteries And Save $$$"

Quicky & Easily to Learn Anatomy and Physiology