Malaka.. Mau Laka.. Mal Akan!.. Mau Lama-Lama
Kalap
Tabe ba ita bot hotu-hotu, mak hau kneter
no k’taek, hodi itakan neon no laran, dale manas tan ita kan rai. Hau horan,
ita hotu-hotu hadomi ba moris iha rai Belu, rai moris fatin itakan hotu
Be, ba orans ne’e, tan ema bot mak kaer
ukun rai, iha Kabupaten Belu, iha
Provinsi NTT to’o Jakarta Ba…Bodik Ita nia Rai, Ina susun Ama Kole Rai
Belu, Ita dale manas, to’o kole, balu to’o di’uk (perdua!), be hanoin diak-diak, Lia kotu tan Rai
Malaka, ita la hamas to’o hahi tian…be to’o wain hira? Lia mak bele halo ita Laka..
Lia nu’u namai nai sia mak hau hadomi, kalu
hau boleh fo lian, pertama : hare no rona Presiden SBY niakan dale ba sidang
iha Senayan tahun 2007, ema naak Moratorium, atau penundaan pembentukan daerah
otonomi karena defisit APBN pada tahun itu, sampai dengan waktu yang tidak
ditentukan. Lia politik husi Pak SBY, fo hatene ba ita bahwa, katuas mak kaer
lia makaas bodik Malaka bele mekar atau lale. No dalan seluk, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat bele membuka pembahasan tentang Kabupaten Malaka. Be, ita
ulun fatun moras tan ita la no ema ida rua tur iha DPR RI. Tan sa nu’u nia, tan
bodik Kabupaten ida bele mekar, Keputusannya harus lewat Undang-Undang. Hakes
bodik Undang-Undang, itu urusan Presiden no DPR dei nai sia. Sehingga, jika ita
rona ema ida rua na’ak ita mekar ona, hau saran sebaiknya ita hakes bahwa “Akan
Mekar”.. la sa ida.. kata “Akan” Mekar itu jadi mal untuk kita semua, Mal
“Akan”…akan nu’u ne’e, akan nu’u nia, semua masih “akan”..
Tulisan pendek ini adalah apresiasi saya
terhadap pendapat sobat-sobat di FB dalam Forum Dukung Kabupaten Malaka, bahwa
energi pemikiran yang telah menjadi diskursus kita semua selama ini merupakan
sebuah dialektika dari sebuah perjuangan panjang tanpa lelah menuju Kabupaten
baru.
Bagi saya, wajah generasi kita, boleh jadi
sedikit lebih baik ketika pemikiran-pemikiran yang terungkap dalam share dan debat
di forum memberi pembobotan terhadap apa yang akan kita semua kerjakan di masa
depan pada kondisi Kabupaten Belu ini mekar ataupun tidak.
Setidaknya kita semua telah belajar bahwa
kita berhak menentukan masa depan kita sendiri, tanpa peduli dengan tabiat
rivalitas Utara - Selatan yang sering kali mencengangkan kita. Persoalan
seperti api dalam sekam, menjadi semacam ideologi terselubung, meresap dan
membentuk watak generasi yang hari ini kita lihat. Tapi soin ba, sudahlah, itu
generasi masa lalu. Saya sendiri belum begitu
yakin jika generasi kita saat ini sedang berupaya melestarikannya, atau
dengan sadar tau dan mau merelakan dirinya ada dalam rivaltas itu.
Rai Belu dengan segala isinya itu satu saja.
Tanpa mengurangi semangat teman-teman yang telah menyebut nama Calon Kabupaten
Baru dengan sebutan Malaka, saya memilih kata yang lain, Belu Tasimane.
Pendekatan yang saya gunakan sederhana saja, kita semua terlahir dan mengenal
karakter akar budaya kita sendiri. Ada Tasifeto, ada Tasimane. Orang-orang kita
yang hidup di di Tasifeto, manusianya menganut sistem perkawinan patriakat, hal
mana kedudukan adat; manusia laki-laki menjadi instrumen utama. Sedangkan di
Belu Tasimane, sistem adatnya menganut sistem perkawinan Matrilinear. Hal yang
kita tahu bahwa kedudukan adat, perempuan menjadi yang utama. Kedua sistem ini
secara prinsip tetap memberi tempat kepada baik itu laki-laki maupun perempuan.
Yang bisa saya tebak dari peninggalan ini adalah, barangkali saja leluhur kita
membagi secara arif cara mereka hidup dengan menempatkan alam sebagai sumber
pendukung utama dalam relasi yang seimbang. Menghormati manusia dan menjaga
eksistensi alam semesta. Itu berlaku untuk ema etun, Dawan,Bunaq, Kemak dan
lain-lain suku bangsa yang sudah hidup dan bersilaturahmi sejak dulu hingga
saat ini. Dalam perkembangannya, berlaku juga satu sisitem lain yakni parental.
Pembaca budiman, saya tidak sedang sengaja
membawa kita keluar dari perbincangan tentang Mau Laka, Mal Akan dan Mau
lama-lama Lakan… paragrah terakhir tadi, boleh saja tidak ada hubungannya
secara organik dari judul tulisan. Yang ingin saya kemukakan adalah, ada
baiknya kita mengambil semangat dari cara leluhur kita mengelola manusia dan
alam, tempat manusia itu hidup di waktu lalu. Semua kita yang belajar sejarah,
tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja, kisah tentang betapa mereka di
zamannya, mereka bisa pergi jauh sampai ke tanah orang. Kalau masih belum
percaya, fakta nama tempat di kota
Kupang, seperti Fatululi, Fatufeto, Fatubesi, dll adalah fakta bahwa mereka
bukan jago kandang.
Lantas ada apa dengan generasi kita saat
ini? Sejumlah agenda di masa depan sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari beberapa
fakta dibawah ini :
- Model pelayan publik masih belum maksimal jika tidak mau dibilang belum bermutu,
- APBD kita masih banyak digunakan untuk mendukung ina ama bin mau alin dalam Birokrasi; untuk diketahui saja jumlah pegawai kita mencapai kurang lebih 7 ribu orang (1,75 %). Apa boleh buat, porsi anggaran masih sekitar 60 -65 persen habis disana. Dibandingkan dengan jumlah rakyat Belu yang hampir menembus angka 400 ribu dan mendapat porsi anggaran 35 – 40 % APBD II.
- Pengelolaan sumber daya alam yang Kerusakan alam yang memprihatinkan kita semua ditambah bencana yang terkesan lamban diurus
- Politik yang mengandalkan kekuatan modal, sudah begitu pakai acara balas dendam politik lagi
- Infrastruktur kita di 24 kecamatan, 208 desa dan kelurahan, mari kita hitung, berapa banyak jalan yang sudah diurus. Atau jika kita ganti pertayaannya, berapa banyak desa yang bisa diakses dengan jalan yang layak pakai, berapa banyak desa yang sudah bisa minum dari air yang bersih, mendapat pelayanan yans memadai.
- Generasi muda kita masih terus berjuang untuk menemukan tempatnya jika tiba gilirannya.
- Impian kita semua tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, efektif, jujur dan berpihak kepada renu rakyat.
Faktanya? Tanpa saya ulaspun, teman-teman
forum mengetahui secara pasti. berbagai keluhan renu disana-sini, bisa saja membuat
kita kalap.
Masih ada lain lagi dan menjadi agenda yang
entah sampai kapan selesainya. Bagi kita, cukuplah bagi generasi saat ini, dikenyangkan
dengan pengalaman-pengalaman masa kini.
Suatu saat nanti, kita bisa dengan leluasa
dan merdeka menunjukkan kepada masyarakat kita bahwa cara kita mengelola daerah
kita, jauh lebih baik dari kenyataan yang sekarang kita hadapi.
Soal-soal hidup dan kemasyarakatan di Belu
Saat ini, rasa-raranya bisa bikin mau kalap. Tapi apakah begitu? Mau kalap, jawabnya
tentu tidak!. Karena kalap bisa merubuhkan kostruksi cara berpikir kita tentang
substansi sebuah daerah dimekarkan.
Semua kita tahu, salah satu alasan utama
dimekarkannya sebuah kabupaten adalah “pendekatan pelayanan”. Lazimnya, urusan
pendekatan dimana-mana memang makan ongkos. Di Belu, kita diurus dengan dengan
biaya yang makan ongkos, mudah-mudahan di masa depan, hal semacam ini tidak
terjadi lagi. Karena, model penanganan
dengan manajemen sistem yang menurut teman-teman “salah kelola”, sampai dunia
kiamatpun akan minim hasilnya.
Lalu ada teman yang masih berkomentar entah
guton entah serius, saya tidak tahu. Tapi kalau tidak ada pemekaran, yang masih
kuliah mau kerja dimana? Masya Allah, di jaman HP murah meriah begini, masih
ada begitu? Yang pasti sobat kita itu sedang bergurau, mengundang rekan-rekan
semua untuk meningkatkan bobot percakapan kita.
Semoga, pola pendekatan Bottom Up yang
selama ini dikampanyekan sebagai saluran aspirasi rakyat, mudah-mudhan tidak
menjadi Cotton bad-nya para Petinggi di Republik. Kita tunggu saja, kapan
muara dari semua ini. Yang pasti, Pak
SBY sedang sibuk memikirkan NII, Korupsi tiada berujung, ulah teroris, hutang Republik
yang kian menumpuk, bencana dimana-mana…
Suara kita semua adalah suara yang telah keluar
dari hidden hystorinya Indonesia. Kita tetap bersuara menatap masa depan, bodik
ita feto renu, bodik ita mane renu, bodik ita hutun sia, bodik ita warak sia. Kanoin
hodi haneon, lia nia dei, karohan ba
ne’e na – Kaninin ba ne’e na.
Blok Motabuik, 26 Mei 2011.