Namaku, Deni Saja.
Pagi ini. Hari ketiga untukku di sekolah baru. Aku duduk sendirian di bangku. Ah... perasan kikuk mulai berkurang. Aku sudah mempunyai beberapa orang teman. Ada Devi, Nona, Theresia dan Selvy. Selvy sering dipanggil si pirang. Dia yang paling pendiam diantara teman-teman sekelasku yang lain.
"Hey...", tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. "Pagi-pagi sudah melamun", sambungnya, Kenapa ?, kamu sakit ?.
Ah... anak ini tidak berhenti bertanya. "Tidak !" jawabku singkat. Tapi Devi sudah pergi ke tempat duduknya, seperti tidak ingin mendengar jawabanku. Aku membuat seperti tidak terjadi sesuatu. Padahal, aku begitu kuatir, kalau-kalau si Pengacau, Deny itu tiba-tiba muncul. "huhhh..., menjengkelkan. Aku melamun sambil memandangi Devi, teman yang mengejutkan lamunanku tadi.
Semua orang sudah tahu tabiat Deny. Deny terkenal karena bengalnya. Hampir separuh anak di kelas kami, sudah pernah dibuat menangis. Ada-ada saja ulahnya. Apa lagi ada anak baru. Menurut cerita teman-teman, Deny paling paling tidak suka dengan anak baru. Katanya dapat merebut perhatian orang darinya.Deny sudah sering kali dibicarakan dalam rapat guru-guru. Akibatnya, sudah sering kali juga surat teguran melayang ke rumah Deny.
Aku masih melamun memikirkannya. Tiba-tiba saja. "Heh, anak baru ya?", kenalan dong !", namaku Deny!", katanya. Wajahku pucat seketika. Aku hanya mengulur tanganku, Deny siapa ?, tanyaku ketus tapi gemetar. Deny menjawab tidak kalah ketusnya, " yah... Deny saja.!, puas ?". habis berkata begitu, Deny langsung melesat pergi. "Oh syukur!", kataku dalam hati. "Ada apa Putri ?, pagi-pagi bicara sendiri", tanya Devi, persis di sampingku. "Itu, si Deny, tumben tidak menggoda kita hari ini. "Oh..., itu, Deny kadang-kadang memang begitu.", kata Devi lagi.
"Aku mengenal baik anak itu, Put !". Kami bertetanga". "Menurut ayahku, Deny itu anak yang kurang perhatian. Orang tua Deny bekerja hingga larut malam. Sudah begitu, mereka sering bertengkar. Saat ini, orang tua Deny sudah bercerai". Deny ikut salah satu orang tuanya. Di sekolah ini, Deny anak yang sangat setia kawan. Deny juga punya banyak teman. Meski begitu, Deny memang terkenal nakalnya". Aku cuma termagu mendengar cerita Devi. Ternyata aku keliru menilai Deny.
Sudah lima hari ini aku tidak melihat Deny. Padahal aku sudah berjanji akan berteman dengannya. Dan pagi itu, seperti biasanya. Aku sudah siap dengan tas, handak berangkat sekolah. Kak Veka yang sering mengantar aku kesekolah sudah menanti. Lewat di teras depan, ada nenek yang sedang mendengar radio. Sudah dari dalam tadi, aku mendengar alunan musik berita duka. Perasanku jadi tidak enak. Pelan-pelan aku menyimak suara penyiar di radio.
"Telah meninggal dunia, Deny Karunia. Bagi saudara-saudara yang mengenal keluarga, dimohon bantuannya untuk menyampaikan berita duka ini !". Deg.., aku terkejut, Deny..?, mudah-mudahan bukan Deny saja. Di sekolah kan namanya Deny saja, "Putri ayo cepatttt..., terlambat nanti", teriak kak Veka yang sudah menunggu di depan jalan.
Tiba di sekolah, teman-teman sudah berkumpul. Devy, Nona, Theresia, Selvy. Aku melihat mata Devy memerah. Seperti orang habis menagis. "Aku makin gelisah. Kenapa Dev?, tanyaku. "De...de... Deny, meninggal. Tertabrak truk kemarin siang !". Supirnya melarikan diri" Ujar devi terisak pelan. "Oh Tuhan... hanya kalimat ini yang keluar dari mulutku. "Deny saja, gumanku perlahan.
Teryata Deny Karunia itu adalah Deny saja. "Aku tidak pernah mau memakai nama karunia. Malu!". Begitu katanya suatu hari kepada Devi. "Namaku saja yang karunia. Tapi hidupku tidak seperti karunia. Jadi lebih baik, Deny saja". "Pagi ini aku berdoa diam-diam. Tuhan, terimalah Deny di sisiMu. Mungkin di dunia ini, masih banyak anak seperti Deny. Tuhan, lindungi kami semua dari bahaya. "Selamat jalan Deny saja!" (EA)
Ah... anak ini tidak berhenti bertanya. "Tidak !" jawabku singkat. Tapi Devi sudah pergi ke tempat duduknya, seperti tidak ingin mendengar jawabanku. Aku membuat seperti tidak terjadi sesuatu. Padahal, aku begitu kuatir, kalau-kalau si Pengacau, Deny itu tiba-tiba muncul. "huhhh..., menjengkelkan. Aku melamun sambil memandangi Devi, teman yang mengejutkan lamunanku tadi.
Semua orang sudah tahu tabiat Deny. Deny terkenal karena bengalnya. Hampir separuh anak di kelas kami, sudah pernah dibuat menangis. Ada-ada saja ulahnya. Apa lagi ada anak baru. Menurut cerita teman-teman, Deny paling paling tidak suka dengan anak baru. Katanya dapat merebut perhatian orang darinya.Deny sudah sering kali dibicarakan dalam rapat guru-guru. Akibatnya, sudah sering kali juga surat teguran melayang ke rumah Deny.
Aku masih melamun memikirkannya. Tiba-tiba saja. "Heh, anak baru ya?", kenalan dong !", namaku Deny!", katanya. Wajahku pucat seketika. Aku hanya mengulur tanganku, Deny siapa ?, tanyaku ketus tapi gemetar. Deny menjawab tidak kalah ketusnya, " yah... Deny saja.!, puas ?". habis berkata begitu, Deny langsung melesat pergi. "Oh syukur!", kataku dalam hati. "Ada apa Putri ?, pagi-pagi bicara sendiri", tanya Devi, persis di sampingku. "Itu, si Deny, tumben tidak menggoda kita hari ini. "Oh..., itu, Deny kadang-kadang memang begitu.", kata Devi lagi.
"Aku mengenal baik anak itu, Put !". Kami bertetanga". "Menurut ayahku, Deny itu anak yang kurang perhatian. Orang tua Deny bekerja hingga larut malam. Sudah begitu, mereka sering bertengkar. Saat ini, orang tua Deny sudah bercerai". Deny ikut salah satu orang tuanya. Di sekolah ini, Deny anak yang sangat setia kawan. Deny juga punya banyak teman. Meski begitu, Deny memang terkenal nakalnya". Aku cuma termagu mendengar cerita Devi. Ternyata aku keliru menilai Deny.
Sudah lima hari ini aku tidak melihat Deny. Padahal aku sudah berjanji akan berteman dengannya. Dan pagi itu, seperti biasanya. Aku sudah siap dengan tas, handak berangkat sekolah. Kak Veka yang sering mengantar aku kesekolah sudah menanti. Lewat di teras depan, ada nenek yang sedang mendengar radio. Sudah dari dalam tadi, aku mendengar alunan musik berita duka. Perasanku jadi tidak enak. Pelan-pelan aku menyimak suara penyiar di radio.
"Telah meninggal dunia, Deny Karunia. Bagi saudara-saudara yang mengenal keluarga, dimohon bantuannya untuk menyampaikan berita duka ini !". Deg.., aku terkejut, Deny..?, mudah-mudahan bukan Deny saja. Di sekolah kan namanya Deny saja, "Putri ayo cepatttt..., terlambat nanti", teriak kak Veka yang sudah menunggu di depan jalan.
Tiba di sekolah, teman-teman sudah berkumpul. Devy, Nona, Theresia, Selvy. Aku melihat mata Devy memerah. Seperti orang habis menagis. "Aku makin gelisah. Kenapa Dev?, tanyaku. "De...de... Deny, meninggal. Tertabrak truk kemarin siang !". Supirnya melarikan diri" Ujar devi terisak pelan. "Oh Tuhan... hanya kalimat ini yang keluar dari mulutku. "Deny saja, gumanku perlahan.
Teryata Deny Karunia itu adalah Deny saja. "Aku tidak pernah mau memakai nama karunia. Malu!". Begitu katanya suatu hari kepada Devi. "Namaku saja yang karunia. Tapi hidupku tidak seperti karunia. Jadi lebih baik, Deny saja". "Pagi ini aku berdoa diam-diam. Tuhan, terimalah Deny di sisiMu. Mungkin di dunia ini, masih banyak anak seperti Deny. Tuhan, lindungi kami semua dari bahaya. "Selamat jalan Deny saja!" (EA)