Meski tidak berbatu
Hanya ada kerikil tajam
Tapi tetap keras tanpa alas kaki...
Dua puluh tahun lalu, popularitas Iwan Fals menanjak karena hampir semua lagunya bertema kritik sosial. Masa-masa dimana banyak orang sedang jenuh dengan kemapanan.
Salah satu judul lagunya bercerita tentang Si budi kecil, judul lagunya sore tugu pancoran. Cerita tentang Budi Kecil, yang mestinya ada dibangku sekolah setiap jam 7 hingga pukul 13.15 waktu tengah hari, namun tidak demikian kenyataannya.
Direntang waktu itu, Budi habiskan dengan berjualan koran di emper-emper jalan besar kota Jakarta. Persis usai subuh ia baru melangkah pulang. Dan karenanya ia tidak sempat selesaikan sekolah. Iwan barangkali tahu bahwa sudah sejak masa itu, anak-anak bertumbuh tidak dalam situasi yang semestinya. Tidak sekolah karena harus bekerja, membantu orang tua mencari nafkah.
Banyak diantara mereka sukses karena bisa mencari uang sendiri, tapi sayangnya mereka juga menjadi kelompok masyarakat baru yang rentan dengan kesenjangan sosial. Beberapa diantaranya malah terperosok dalam dunia kejahatan.
Saya menyadari bahwa, tulisan pendek ini hanya bagian kecil dari samudera pembahasan, diskusi dan perdebatan yang kenyang tentang soal-soal ekonomi dalam hubungannya dengan realitas pendidikan dan ekonomi kita. Tentang penghuni sekolah yakni siswa, yang rata-rata umumnya berusia 5-18 tahun. Tapi di luar sana, di simpang-simpang jalan, pasar, terminal, anak seusia itu mengganti peran-peran orangtuanya. Membantu mencari nafkah demi melanjutkan hidup.
Adalah Fransiskus Nahak (7), anak yang diusia dini harus mengganti peran bapaknya. Tanggungjawab keluarga menjadi bagian dari miliknya ketika ditinggal pergi bapaknya yang pergi merantau juga untuk tujuan yang sama, mencari nafkah di tanah orang. Tentang bekerja, sudah Fransiskus jalani sejak masih berusia 5 tahun. Usia yang sama ketika masuk bangku sekolah. Dan Fransiskus rela kehilangan waktu, tidak naik kelas karena sering bolos.
Ia hidup bersama bundanya yang juga petani dan 3 orang adik yang masih kecil. Tempat tinggal di Asuulun berjarak 6 km dari Kota Atambua dan jalan aspal sepanjang itu harus dilewati
Anak sekecil ini memang memilih untuk berkelahi dengan waktu. Padahal teman seusianya sekarang sedang asyik menikmati masa-masa liburan.
Inilah realitas kehidupan yang hanya berjarak beberapa senti saja dari mata kita. Ketika Dana BOS, kampanye pemimpin negeri untuk meningkatkan kehidupan pendidikan kita masih menjadi sebuah harapan yang tidak bertepi. Ditanah air kita sendiri, masih ada generasi yang harus sibuk menyambung hidup dengan menjadi pekerja anak.
Meski realitas adanya pekerja anak tidak mirip fenomena gunung es, boleh jadi ; kisruhnya hal manajemen pengelolaan bangsa ini diakibatkan kualitas pendidikan di bangsa yang masih minim kreativitas dengan kapasitas moral yang kurang memadai.
Tahun 2005, Sebuah hasil penelitian Human Development Indeks menunjukkan bahwa kualitas pendidikan orang Indonesia hanya berada pada peringkat ke 110 dari 145 negara. Sudah begitu, posisi kita malah ada dua tingkat dibawah Vietnam yang baru merdeka kemarin dulu.
Pendidikan kemudian menjadi tema utama dalam setiap diskursus membedah berbagai persoalan yang melingkupi kehidupan masyarakat dimanapun. Itu terjadi, karena orang percaya bahwa pendidikan masih merupakan sebuah jalan utama bagi pencapaian kualitas hidup melalui optimalisasi kemampuan berpikir seseorang.
Soal kita hari ini ialah, ada berapa banyak “anak” yang sudah masuk lembaga pendidikan dan berapa yang masih antri di luar sana. Meski masih dengan catatan, sebagian diantara kita ragu-ragu lantas gelisah dengan kualitas pendidikan dalam negeri. Hal itu beralasan. Yang namanya hasil ujian nasional di tingkat SD saja lulusannya seringkali menyedihkan. Program wajib belajar 9 tahun belum ada satu dekade. Namun, secara umum format pendidikan dasar dirombak total dengan memasukkan kembali pendidikan budi pekerti dan muatan Lokal kedalam kurikulum.
Mudah-mudahan langkah ini tidak sia-sia. Karena bisa jadi, keruwetan di bangsa ini termasuk dunia pendidikan kita bersumber dari kapasitas moral anak bangsa yang lumpuh.
62 tahun Indonesia Merdeka, cita-cita kita semua untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih samar-samar. Tidak saja di Belu, barangkali di daerah-daerah lain, mulai dari sudut desa sampai pusat kota.
Kalau di Jakarta ada Budi kecil, dan disini ada Fransiskus yang mewakili potret anak Indonesia yang terlempar dimana-mana. Bagian dari generasi masa depan negeri ini yang harus terhempas ke semak sejarah bangsanya sendiri. Mereka memang ada dimana-mana. Tidak saja dipasar, dari terminal sampai pinggir jalan jadi calo, di tempat mete mereka memerankan “konjak” alias juru atur uang para penjudi bola guling, di beberapa tempat hiburan ada yang bertugas merapikan bola biliar. Penjual kue keliling, tukang dorong gerobak penjual mainan, separuh lagi menjadi pedagang asongan di simpang-simpang jalan yang setiap menit berburu dengan bus, angkot dan sejenisnya menawarkan dagangan. Menjadi tukang kumpul barang bekas, besi tua, plastik bekas, juga loper koran.
Meski di tempat yang berbeda. Alasan melakoni semua aktivitas ini adalah untuk menyambung hidup. Tidak satupun diantara mereka yang punya alasan untuk sekedar “senang-senang”. Padahal kita tahu, dunia anak akrab dengan dunia hiburan, dunia untuk bersenang, bermain dan belajar, dunia tanpa beban.
Di sisi lain dunia ini, kejahatan seringkali akrab dengan salah satu sebab utama rendahnya kualitas pendidikan kita. Kejahatan apapun namanya. Karena tugas dunia pendidikan tidak saja mengajar orang untuk jadi encer isi kepalanya alias cerdas, tetapi juga harus santun nuraninya. Dan karena itu disebut pendidikan.
Mendidik dan bukan sekedar mengajar.
Dan awal Juli 2007 ini, dimulai dengan peringatan Hari Anak Nasional entah untuk yang ke berapa kalinya, realitasnya ; dunia anak kita masih ada yang seperti ini.
Sejumlah persoalan yang belum sempat terselesaikan di bangsa ini, seperti Hutang luar negeri yang menumpuk, manajemen infrastruktur yang buruk, belum terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat banyak di desa-desa seperti air bersih, penanganan bantuan bencana alam yang lamban, harga pajak melambung 50 %, naiknya harga barang kebutuhan dasar, bisa saja karena ketidakberdayaan pemimpin di negeri ini, atau jangan-jangan juga karena kedangkalan berpikir.
Kecerdasan hanya digunakan untuk menelantarkan harapan sesama rakyat Indonesia.
Kata “rakyat” barangkali saja tidak terimankan oleh kita. Saya menjadi bingung, membayangkan keseharian mekanisme pasar berlaku juga untuk Fransiskus dan kawan-kawannya. Yang terjadi adalah, kita jarang menawar harga barang di toko-toko besar, habis membeli, dan kalaupun ada uang kembalian, sering ditukar dengan gula-gula manisan. Toh, jarang ada yang protes. Tapi untuk Fransiskus, kol yang harganya 1500 rupiah/buah, malah masih ada diantara kita yang dengan teganya menawar.
Sidang pembaca yang budiman, kalau saja kemerdekaan yang kita jalani saat ini tidak kotor oleh tangan-tangan koruptor, para pemimpin yang serakah nan lalim, pengusaha kaya raya yang tidak ego, dan kita berdiam diri menunggu dana segar turun dari langit kekuasaan di Jakarta sana tanpa mau bekerja lebih keras untuk membangun dunia pendidikan dengan keringat rakyat Belu sendiri. Apalagi untuk Fransiskus.
Karena kalau setiap pagi Fransiskus tidak berjalan kaki, tapi setengah berlari setengah berjalan. Dan ternyata itu bukan ke sekolah. Bukan sebuah tas berisi buku dan pena di punggungnya. Tapi sebilah pikulan dengan beban 20 – 30 buah kol untuk makan dan hidupnya setiap hari.
Karena bukan tidak mungkin masih ada Fransiskus–Fransiskus lain di tanah Belu ini. Jangan-jangan dari mereka itu, ada diantaranya yang kita bisa sebut dengan cucuku, anakku, adikku, keponakanku, atau tetanggaku.
Apapun sebutannya, tapi yang pasti, semua mereka adalah generasi masa depan negeri ini. Yang pantas dihormati dan berkesempatan untuk menikmati indahnya masa kanak-kanak mereka. Agar dari sana mereka dapat bertumbuh menjadi anak-anak Indonesia yang layak, cemerlang isi kepalanya, sehat raganya dan punya nurani yang bermutu. Kelak dikemudian hari berkewajban untuk turut membangun tanah air ke situasi yang lebih bermartabat.
Betapapun, selamat hari anak. Untuk anak di Indonesia, NTT, terutama di Belu, dan tulisan sederhana ini adalah kado khusus untuk Fransiskus Nahak (yang masih nanar, menatap kelakuan kita semua). Eng