Memulai di November 2009, Selesai 511 episode, dalam tujuh tahun berkarya sampai Agustus 2017.
Pagi ini, 9 Agustus 2017. Semestinya aku bahagia selepas memberi ucapan
selamat ulang tahun untuk Kakak
perempuan tertuaku, di usianya yang ke-50. Itu tidak bertahan lantaran ada
berita di salah satu pojok Jawa Pos “Mata Najwa Tak Mengudara Lagi”. Setengah tidak
percaya, itu berita kubaca ulang dua kali. Alhasil, itu artinya bahwa setiap Rabu malam nanti, terhitung
September 2017, tidak ada lagi acara Mata Najwa.
Ada apa dengan Tuan rumah Mata Najwa? Jawabannya baru aku dapat sore hari, ditambah info dari twitter bahwa acara Mata Najwa malam hari nanti akan diisi oleh kawan-kawannya mewakili sang Tuan rumah. Gundahku kambuh.
Ada apa dengan Tuan rumah Mata Najwa? Jawabannya baru aku dapat sore hari, ditambah info dari twitter bahwa acara Mata Najwa malam hari nanti akan diisi oleh kawan-kawannya mewakili sang Tuan rumah. Gundahku kambuh.
Dan malam harinya, benar-benar kejadian;
tidak ada Tuan Rumah. Acara Mata Najwa di Metro TV malam hari, dirilis dengan menyajikan
kembali serangkaian Acara Mata Najwa di sejumlah daerah, ragam topic, jamak
tendensi, tapi tujuan cuma satu; mengingatkan semua orang yang menjadi
narasumber ataupun hadir dalam acara, ataupun siapapun yang menyaksikan
langsung maupun pemirsa dirumah; bahwa pers
dan demokrasi sejatinya harus dipakai untuk kesejahteraan rakyat, mulai dari
menggagas sampai pada tindakan nyata. Itu mudah ditangkap dari pesan yang terungkap
dari mulai sessi “Perempuan-perempuan dalam Kabinet kerja, Sumber Inspirasi, Sidang
Rakyat, Komandan Koboi, Bagimu Negeri sampai sisi lain Mata Najwa”. Sebuah model
pencerahan yang langsung menghadirkan sumbernya, terurai lugas, memupus spekulasi
dan ragamnya analisis situasi ini dan itu, apalagi jika itu sesuatu mengenai
politik.
Seingatku, Mata Najwa mula-mula disuguhi dalam ruangan terbatas, studio
tepatnya. Ada audiens pula. Kemudian berkembang di alur masa. Untuk isu publik yang
menjadi trending topic, Nana sang tuan
rumah mengemasnya dalam sessi “On stage”.
Biasanya mengambil latar kampus, barangkali itu salah satu siasat Tuan Rumah
Mata Najwa untuk menyatakan kepada publik bahwa, sharing intelektual dan diskusi
harus dihadirkan dari dalam dunia kampus. Tidak kalah menariknya, On stage juga
bisa dipapar tengah kota sebagai sumbunya area pelayanan publik, meski itu
bukan satu-satunya. Kemasannya langsung, sama langsungnya ditonton puluhan ribu
nyawa. Mata Najwa bahkan telah membukukan rekor Muri dengan audiens terbesar
dalam sejarah dunia. Hmm.. Oprah saja tidak begitu. Ah, si cantik Nana ini
memang luar biasa. Tidak pernah membayangkan ini sebelumnya, gundahku bakal
kehilangan Mata Najwa bikin ruang dihati jadi kosong seketika.
Mata Najwa dalam tujuh tahun yang inspiratif dan kreatif, ulasan-ulasan membongkar kultur lama yang malu-malu tapi mau, menjadi lebih berani dan tegas. Dari yang tertutup atau setengah terbuka menjadi keterbukaan yang bukan sekedar buka-bukaan tanpa rasa hormat. Nana memang punya cara khas bertanya, yaitu langsung, mengejar sampai tuntas, memotong sembari meluruskan jawaban yang tidak terarah, melempar umpan masuk akal atas nama isu-isu besar yang menyoal kemanusiaan, kemiskinan, hukum, ekonomi, seni dan masih banyak lagi kisah inspirasi lainnya.
Pertanyaannya seringkali tajam, setajam tatap matanya, sama tajamnya dengan suaranya yang acap kali memotong di tengah, sampai narasumber harus berpikir sejenak sebelum melanjutkan menjawab. Tajam mengupas namun tidak membunuh. Menukik dengan hantaman keras tapi tidak mematikan, malah membangunkan asa. Menyelidik yang tidak terpaksa, tapi mengungkap jujur, berani yang pantas. Uniknya, semua yang menonton mesti berharap ada kejutan baru. Itulah panggung demokrasi ala Metro TV dan Najwa Shihab. Tuan rumah Mata Najwa memberi suguhan yang berbeda sejak 7 tahun lalu, ke arena demokrasi pers di tanah air. Nana berpihak kepada keterbukaan yang bertanggungjawab atas nama moralitas publik yang punya nurani. Di rumahnya, orang bisa saja bebas berdebat, saling menghantam satu sama lain, lalu santun tertib pulang dengan bergandengan tangan. Sebuah pengaruh yang berdampak pada upaya memperkuat Ke-Indonesiaan kita yang sungguh dan tulus iklas. Itu semua Karena, Nana punya kemampuan menutup setiap percakapan dengan begitu apik.
Keahlian Nana dalam merangkai kalimat penutup di setiap episode, adalah salah satu bagian penting yang selalu dinanti-nanti penonton; karena disanalah esensi dari semua pesan yang mau disampaikan mata Najwa kepada pemirsa, diramunya dengan bagus. Setiap ungkapan dan pilihan kata, adalah tentang kemanusiaan, kebangsaan, kecintaan kepada sesama dan tanah air, kepedulian atas kehidupan rakyat, teladan atas bakti kepada negeri yang tidak pernah selesai, menaburnya dalam harapan yang tidak lelah, menghibur dengan semangat penuh tawa dan senyuman.
Faktanya, Nana telah berkeling ke hampir seantero Nusantara, dari kampus
sampai ke tengah kota, di dalam bahkan manca negara. Ruang demokrasi pers yang moderat
telah dibangun dan terus berkembang; dalam semangat egaliter yang masuk akal
pasca reformasi. Melalui Mata Najwa, seorang Najwa Shihab di Metro TV mampu
membuktikan kepada publik bahwa di rumahnya, reformasi bukanlah sesuatu yang kebablasan,
melainkan sebuah era baru untuk menghadirkan Pers sebagai sarana control yang
wajar dan perlu untuk membangun demokrasi, meningkatkan kualitas di berbagai
bidang kehidupan. Itu semua telah diperjuangkannya, jatuh bangun bersama kru, mengemas acara yang
hebat ini.
Setelah Nana mundur dengan membawa pergi Mata Najwa; di luar sana, dalam rimba raya-nya media sosial, barangkali saja ada pro dan kotra tentang sikap seorang Najwa Shihab. Oleh karena ketetapannya itu, aku hanya bisa berapresiasi sedalam dalamnya. Aku benar kehilanganmu, namun tetap berharap untuk dapat bertemu lagi di lain kesempatan. Yang akan selalu kuingat adalah; Nana ; “Caramu menyajikan Mata Najwa adalah salah satu apresiasi terbaik yang pernah ada dalam sejarah pers dan kemanusiaan kita untuk kembali menghormati martabat manusia sebagai sesuatu yang hakiki”.
Mudah-mudahan Nana tidak sedang “ditenggelamkan”, meminjam diksi yang sering disematkan kepada Ibu Menteri Susi; karena memilih mundur dan pergi dari sana juga sebuah pilihan. Besok dan seterusnya, jujur aku pasti rindu dengan Mata Najwa. Barangkali, tunas baru harus bertumbuh. Namun mencari yang sepertimu, rasanya sulit; karena Sang Agung, hanya menjadikanmu satu saja, Najwa Shihab. Apresiasi dan Terima kasih tulus kepada baktimu yang luhur itu.
Sampai bertemu lagi Mata Najwa, Kau pasti akan kembali dengan sebatang pena digenggammu, lebih bertenaga.