Seorang anak bangun pagi-pagi sekali. Masih jam 4 dini hari. Ia terbangun karena dihampiri wajah seseorang dalam mimpi. Sebut saja ini mimpi nan indah. Karena ia tidak bisa melupakan raut wajah itu, segera batinnya menyuruh untuk membuat sebuah lukisan tentangnya.
Untuk itu, Ia tidak perlu menunggu lama untuk mandi, apalagi sarapan. Di depan kanvas, ia sibuk mencampur-campur warna, terseok-seok memutar-mutar posisi berdiri, duduk, setengah tidur sambil meliuk-liukan kuas kesana kemari.
Hampir setengah hari ia melukis dengan konsentrasi tingkat tinggi. Bagi anak ini, Lukisan adalah karya maha dasyat yang bisa membuat hidupnya berubah. Dasar bukan pelukis. Praktis ia sama sekali tidak bisa membuat lukisan indah seperti dalam mimpinya. Bahkan jauh sekali dari mimpinya. Apa yang ia tampilkan setelah setengah hari bekerja adalah tampilan sebuah wajah yang gersang, kering, yang lebih menyebalkan ternyata ia melukis wajahnya sendiri (Yang notabene sudah bosan hampir dilihatnya tiap hari di depan cermin).
Siang hari, ia mengganti aktivitasnya dari melukis menjadi pengumpat-umpat. Ia memaki dirinya sendiri. Mengapa tidak bisa melukis wajah itu. Kenapa tangannya tidak bisa lebih lembut untuk buat guratan halus di kanvas. Padahal wajah itu telah menyita waktu begitu banyak. Batinnya meraung-raung. Kenapa untuk hal yang satu ini, pikiran dan nurani tidak bisa kerjasama. Sementara itu, batinnya yang lain menjawab, “itu bukan soal kekompakan, kalau memang dari sananya sudah tidak bisa melukis, mau bilang apa.....”. Tidak lama kemudian, dia sudah duduk kembali didepan kanvas. Lukisan wajahnya segera digantinya. Ada kanvas putih baru yang bersih terpampang didepannya.
Kali ini tidak melukis. Ia hanya mau menulis saja. Yang ditulisnya adalah gugatan pada Sang Pencipta dengan satu buah pertanyaan saja. Tuhanku, Engkau tidak adil. Mengapa Dikau tidak memberikan talenta untuk melukis kepada saya ?. Kemudian anak itu berhenti sesaat. Ah..cukup satu pertanyaan saja. (Pikirnya), Tuhan bisa kerepotan cari jawabannya. Tunggu saja, nanti malam malaikat Jibril akan tergopoh-gopoh membawa jawaban turun dari sorga. Jenuh dengan soal-soal ini, ia sampai kelelahan. Maka ia berpikir sejenak untuk kembali tidur. Mencoba menemukan mimpi indah itu. Tapi, alkisah banyak hal dimuka bumi, sangat jarang mimpi yang sama datang dua kali. Sayang sekali, sahabat kita ini harus kecewa sekali lagi, ia bahkan tidak bermimpi tentang sesuatu apapun. .
Tengah malam ia terbangun, sedikit gusar. Barangkali saja malaikat Jibril yang membawa jawaban dari langit sudah tiba. Dengan hati-hati sekali ia menengok ke kanan dan kiri, ke belakang, di bawah tempat tidur, loteng. Lalu kebelakang lemari. Siapa tahu Sang Jibril lagi sembunyi disitu. Tidak ada orang disitu. Ia masih sendirian. Hah?, jangan-jangan Bapa yang Kudus Lupa nih... kirim Jibril kesini. Ah..Tidak mungkin. Atau Sang Jibril ada di luar ya?. Kemudian dengan hati-hati, ia berjalan berjingkat, mengira-ngira malaikat Jibril sudah datang tapi coba bercanda dengan main petak umpet. Dengan perlahan ia melogokan wajah di pinggir pintu, “Kena lu Jibril”. Eh gila. Jibril juga tidak ada disitu. Jangankan bayangan, bau parfum Jibril yang biasa tampil dengan pesona Axe, tidak tercium sampai detik itu. “Bu, beta su tunggu ni, jangan terlalu lama sembuyi oooo..., serunya.
Anak itu terdiam sesaat. Jibril memang tidak datang malam itu. Ia kemudian terduduk di teras rumah, sambil menundukan kepala, menulis beberapa kalimat di atasnya. Sesaat kemudian ia kembali memandang ke atas sana. Dunia sang langit . Wow..... luar biasa. Malam ternyata bisa menampilkan kecerahan. Yang tenang tapi seperti memendam. Malam punya pesona sendiri. O, ternyata Jibril menari-nari disana. Pantas dia tidak jadi datang. Mungkin ada pesta di langit sana. Tapi kenapa tidak ada undangan ya ??... Ada gugusan Naga, Leo, Scorpio tertata rapi ditempatnya. Jauh di atas sana. Bahkan sang bintang raksasa dingin IRS5 di cabang Spiral Perseus Bima Sakti masih bertengger disana. Ia selalu ingat dimana gugusan Leo, ia tahu persis tempatnya.
Dalam pekatnya malam, gugusan para bintang tengah memancarkan cahayanya satu persatu. Ah, bukankah ini juga sebuah lukisan nan indah. Mahakarya Pencipta Sang Khalig Agung. Dan ia tidak pernah membuat lukisan ini di atas kanvas.
Ia menepuk-nepuk dahi, seperti menyesalkan sesuatu “Waduh.. gawat...ini, kenapa saya protes Tuhan tadi siang ?. Boss bisa marah besar nanti...!, padahal saya kan bisa melukis dalam batin. Setelah puas menatap langit malam itu. Ia buru-buru masuk kembali ke biliknya. Sebelum kembali tidur, ia pergi ke sudut ruang.
Disana ada sepotong kayu palang kecil asli dari dahan pohon jati. Tepat dibawahnya Ia berlutut, matanya tertutup dan dengan tangan terkatup ia lalu membantin; “Tuhanku, ampuni aku untuk sebuah pertanyaan konyol siang tadi. Terima kasih karena Engkau memberiku batin yang damai. Karena disana aku bisa menyimpan banyak lukisan. Yang indah bahkan yang duka sekalipun. Aku bersyulkur karena tanganku tidak bisa membuat lukisan indah di atas kanvas. Tidak mengapa, karena aku sadar, diriku adalah salah satu lukisanMU yang indah. Dan hatiku masih bersemayam disana, masih aman tinggal dalam tubuhku. Jika Engkau berkenan, berikan kesempatan ini juga bagi saudara-saudaraku yang lain, supaya mereka juga bisa merasakan keindahan buatan tanganMU yang Agung.
“Aku butuh untuk mengadu kepadaMu malam ini, karena dunia tempat kami tinggal mulai rapuh. Aku dan banyak diantara kami telah menjadi orang-orang munafik apalagi lupa berterima kasih padaMU. Ampunkan kami untuk semua kefasikan kami ini.
“Tuhanku, aku kesal hari ini. Karena, ada banyak orang berkelimpahan, tetapi masih banyak umatMu terlempar di jalan-jalan sana. Duduk seharian dari pagi sampai malam, menanti jualan habis terbeli. Menunggu tumpangan sampai letih. Jadi pelayan toko sampai terkantuk-kantuk. Menjadi tukang pukul batu sampai tuli di kali Talau, Menanti kerabat yang tidak berkunjung di penjara, yang pergi meninggalkan tugas, yang tidak bisa bayar ongkos dokter, boro-boro deh... buat sekolah, makan saja Senin Kamis. Setiap hari banyak anak kecil harus kembali padaMu, karena banyak orangtua mereka tidak siap terima mereka, melayani mereka, apalagi menjamin hidup mereka.
Di kampung-kampung kami, masih ada ibu yang tidak sukses mengandung sampai gagal melahirkan. Aku dan mereka tiada bedanya persis sama melaratnya “.
“Bapa yang kudus, kalau saja aku bisa melukis mimpi yang indah kemarin malam, aku kepingin sekali menjualnya, dan membagi-bagi hasilnya buat mereka. Aku ikhlas kok. Tapi aku sadar itu tidak cukup. Kalau boleh berharap, semoga kami semua diperkenankan memiliki damai dalam hati. Agar generasi kami boleh tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang baik, sesuai dengan citramu, mampu berbagi kasih dan melayani lebih sungguh”.
“Omong-omong Boss, ini sudah larut malam, aku mulai mengantuk nih..., mohon ijin untuk pergi bobo. Terima kasih banyak, sampai jumpa besok pagi.“ Dan tanda silang kecil itu. Dimulai dari dahi, ketengah dadanya, kemudian bahu kiri, lalu ke kanan, ia menyebut sepotong kata, Amin disitu.
Ia kemudian mengakhirinya dengan sebuah kecupan kecil pada tangan yang membuat tanda silang itu,
Sahabat kita ini bangun kembali dengan sedikit meringis karena tempat ia berlutut tadi tidak ada alas lutut. Rupanya tadi ia bicara agak lama dengan Sang Esa. Ia tersenyum kecil. Malam ini ia tidur dengan tenang. Setidaknya ia sadar masih bisa membuat banyak lukisan dalam batinnya. Sudah bisa tersenyum sekarang..., Semoga kita semua bisa jadi pelukis yang indah dalam hati. Terima kasih atas atensinya. Tuhan sertamu. Eng di Atambua, 17 November 2003
Untuk itu, Ia tidak perlu menunggu lama untuk mandi, apalagi sarapan. Di depan kanvas, ia sibuk mencampur-campur warna, terseok-seok memutar-mutar posisi berdiri, duduk, setengah tidur sambil meliuk-liukan kuas kesana kemari.
Hampir setengah hari ia melukis dengan konsentrasi tingkat tinggi. Bagi anak ini, Lukisan adalah karya maha dasyat yang bisa membuat hidupnya berubah. Dasar bukan pelukis. Praktis ia sama sekali tidak bisa membuat lukisan indah seperti dalam mimpinya. Bahkan jauh sekali dari mimpinya. Apa yang ia tampilkan setelah setengah hari bekerja adalah tampilan sebuah wajah yang gersang, kering, yang lebih menyebalkan ternyata ia melukis wajahnya sendiri (Yang notabene sudah bosan hampir dilihatnya tiap hari di depan cermin).
Siang hari, ia mengganti aktivitasnya dari melukis menjadi pengumpat-umpat. Ia memaki dirinya sendiri. Mengapa tidak bisa melukis wajah itu. Kenapa tangannya tidak bisa lebih lembut untuk buat guratan halus di kanvas. Padahal wajah itu telah menyita waktu begitu banyak. Batinnya meraung-raung. Kenapa untuk hal yang satu ini, pikiran dan nurani tidak bisa kerjasama. Sementara itu, batinnya yang lain menjawab, “itu bukan soal kekompakan, kalau memang dari sananya sudah tidak bisa melukis, mau bilang apa.....”. Tidak lama kemudian, dia sudah duduk kembali didepan kanvas. Lukisan wajahnya segera digantinya. Ada kanvas putih baru yang bersih terpampang didepannya.
Kali ini tidak melukis. Ia hanya mau menulis saja. Yang ditulisnya adalah gugatan pada Sang Pencipta dengan satu buah pertanyaan saja. Tuhanku, Engkau tidak adil. Mengapa Dikau tidak memberikan talenta untuk melukis kepada saya ?. Kemudian anak itu berhenti sesaat. Ah..cukup satu pertanyaan saja. (Pikirnya), Tuhan bisa kerepotan cari jawabannya. Tunggu saja, nanti malam malaikat Jibril akan tergopoh-gopoh membawa jawaban turun dari sorga. Jenuh dengan soal-soal ini, ia sampai kelelahan. Maka ia berpikir sejenak untuk kembali tidur. Mencoba menemukan mimpi indah itu. Tapi, alkisah banyak hal dimuka bumi, sangat jarang mimpi yang sama datang dua kali. Sayang sekali, sahabat kita ini harus kecewa sekali lagi, ia bahkan tidak bermimpi tentang sesuatu apapun. .
Tengah malam ia terbangun, sedikit gusar. Barangkali saja malaikat Jibril yang membawa jawaban dari langit sudah tiba. Dengan hati-hati sekali ia menengok ke kanan dan kiri, ke belakang, di bawah tempat tidur, loteng. Lalu kebelakang lemari. Siapa tahu Sang Jibril lagi sembunyi disitu. Tidak ada orang disitu. Ia masih sendirian. Hah?, jangan-jangan Bapa yang Kudus Lupa nih... kirim Jibril kesini. Ah..Tidak mungkin. Atau Sang Jibril ada di luar ya?. Kemudian dengan hati-hati, ia berjalan berjingkat, mengira-ngira malaikat Jibril sudah datang tapi coba bercanda dengan main petak umpet. Dengan perlahan ia melogokan wajah di pinggir pintu, “Kena lu Jibril”. Eh gila. Jibril juga tidak ada disitu. Jangankan bayangan, bau parfum Jibril yang biasa tampil dengan pesona Axe, tidak tercium sampai detik itu. “Bu, beta su tunggu ni, jangan terlalu lama sembuyi oooo..., serunya.
Anak itu terdiam sesaat. Jibril memang tidak datang malam itu. Ia kemudian terduduk di teras rumah, sambil menundukan kepala, menulis beberapa kalimat di atasnya. Sesaat kemudian ia kembali memandang ke atas sana. Dunia sang langit . Wow..... luar biasa. Malam ternyata bisa menampilkan kecerahan. Yang tenang tapi seperti memendam. Malam punya pesona sendiri. O, ternyata Jibril menari-nari disana. Pantas dia tidak jadi datang. Mungkin ada pesta di langit sana. Tapi kenapa tidak ada undangan ya ??... Ada gugusan Naga, Leo, Scorpio tertata rapi ditempatnya. Jauh di atas sana. Bahkan sang bintang raksasa dingin IRS5 di cabang Spiral Perseus Bima Sakti masih bertengger disana. Ia selalu ingat dimana gugusan Leo, ia tahu persis tempatnya.
Dalam pekatnya malam, gugusan para bintang tengah memancarkan cahayanya satu persatu. Ah, bukankah ini juga sebuah lukisan nan indah. Mahakarya Pencipta Sang Khalig Agung. Dan ia tidak pernah membuat lukisan ini di atas kanvas.
Ia menepuk-nepuk dahi, seperti menyesalkan sesuatu “Waduh.. gawat...ini, kenapa saya protes Tuhan tadi siang ?. Boss bisa marah besar nanti...!, padahal saya kan bisa melukis dalam batin. Setelah puas menatap langit malam itu. Ia buru-buru masuk kembali ke biliknya. Sebelum kembali tidur, ia pergi ke sudut ruang.
Disana ada sepotong kayu palang kecil asli dari dahan pohon jati. Tepat dibawahnya Ia berlutut, matanya tertutup dan dengan tangan terkatup ia lalu membantin; “Tuhanku, ampuni aku untuk sebuah pertanyaan konyol siang tadi. Terima kasih karena Engkau memberiku batin yang damai. Karena disana aku bisa menyimpan banyak lukisan. Yang indah bahkan yang duka sekalipun. Aku bersyulkur karena tanganku tidak bisa membuat lukisan indah di atas kanvas. Tidak mengapa, karena aku sadar, diriku adalah salah satu lukisanMU yang indah. Dan hatiku masih bersemayam disana, masih aman tinggal dalam tubuhku. Jika Engkau berkenan, berikan kesempatan ini juga bagi saudara-saudaraku yang lain, supaya mereka juga bisa merasakan keindahan buatan tanganMU yang Agung.
“Aku butuh untuk mengadu kepadaMu malam ini, karena dunia tempat kami tinggal mulai rapuh. Aku dan banyak diantara kami telah menjadi orang-orang munafik apalagi lupa berterima kasih padaMU. Ampunkan kami untuk semua kefasikan kami ini.
“Tuhanku, aku kesal hari ini. Karena, ada banyak orang berkelimpahan, tetapi masih banyak umatMu terlempar di jalan-jalan sana. Duduk seharian dari pagi sampai malam, menanti jualan habis terbeli. Menunggu tumpangan sampai letih. Jadi pelayan toko sampai terkantuk-kantuk. Menjadi tukang pukul batu sampai tuli di kali Talau, Menanti kerabat yang tidak berkunjung di penjara, yang pergi meninggalkan tugas, yang tidak bisa bayar ongkos dokter, boro-boro deh... buat sekolah, makan saja Senin Kamis. Setiap hari banyak anak kecil harus kembali padaMu, karena banyak orangtua mereka tidak siap terima mereka, melayani mereka, apalagi menjamin hidup mereka.
Di kampung-kampung kami, masih ada ibu yang tidak sukses mengandung sampai gagal melahirkan. Aku dan mereka tiada bedanya persis sama melaratnya “.
“Bapa yang kudus, kalau saja aku bisa melukis mimpi yang indah kemarin malam, aku kepingin sekali menjualnya, dan membagi-bagi hasilnya buat mereka. Aku ikhlas kok. Tapi aku sadar itu tidak cukup. Kalau boleh berharap, semoga kami semua diperkenankan memiliki damai dalam hati. Agar generasi kami boleh tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang baik, sesuai dengan citramu, mampu berbagi kasih dan melayani lebih sungguh”.
“Omong-omong Boss, ini sudah larut malam, aku mulai mengantuk nih..., mohon ijin untuk pergi bobo. Terima kasih banyak, sampai jumpa besok pagi.“ Dan tanda silang kecil itu. Dimulai dari dahi, ketengah dadanya, kemudian bahu kiri, lalu ke kanan, ia menyebut sepotong kata, Amin disitu.
Ia kemudian mengakhirinya dengan sebuah kecupan kecil pada tangan yang membuat tanda silang itu,
Sahabat kita ini bangun kembali dengan sedikit meringis karena tempat ia berlutut tadi tidak ada alas lutut. Rupanya tadi ia bicara agak lama dengan Sang Esa. Ia tersenyum kecil. Malam ini ia tidur dengan tenang. Setidaknya ia sadar masih bisa membuat banyak lukisan dalam batinnya. Sudah bisa tersenyum sekarang..., Semoga kita semua bisa jadi pelukis yang indah dalam hati. Terima kasih atas atensinya. Tuhan sertamu. Eng di Atambua, 17 November 2003