Saudara yang baik, Salam sejahtera. Pagi ini masih ada cerita,semoga tidak jenuh.
Suatu ketika seorang Rahib datang ke rumah seorang Yahudi. Dan hari ketika ia datang itu, hari Sabtu. Kebutuhan sang Rahib kali ini adalah meminta pertolongan sang Yahudi untuk membantunya, membuatkan tempat berteduh. “Bu bisa Tolong beta ko!, ini agak darurat. Su mulai ujan, ma atap belum kelar, bisa bantu ko?, pinta agak menghiba dengan dialek Rotenya. Sayang sekali permintaan Sang Rahib tidak terkabul, Sang Yahudi tidak bisa banyak membantu. Ia hanya menjawab pendek “Bu ju datang sonde tau waktu na, ini hari batong ada ibadat. Sorri, sonde bisa diganggu, lain kali sa. Sebabnya, hari itu, hari sabtu. Seperti biasa sang Yahudi yang penganut fanatik Taurat tidak bisa melakukan sesuatu apapun pada hari Sabat itu.
Ketika pulang, sang Rahib Gelisah. Dan ia berdoa memohon ampun pada sang Pencipta untuk memberinya kesempatan bukan untuk siapa-siapa. Tetapi yang pertama-tama bagi dirinya sendiri, untuk bisa mengusir Kegundahan batinnya. Bagi Sang Rahib kalau kegalauan terus menghantuinya, itu sebuah dosa besar. Ada benarnya, karena hari itu ia tidak beroleh keteduhan. Ia berharap beroleh keteduhan dari sahabatnya melalui pertolongan sahabatnya si Yahudi tadi. Apa boleh buat, ia terganjar aturan main hari Sabat.
Ia kemudian berserah diri, “Bapa, mo terjadi na terjadi sa menurut perkataanMu. Dan hujan benar-benar turun sore harinya, lebat bukan main. Lalu, Hari Sabtu itu menjadi hari Sabtu yang berbeda makna bagi dua orang sabahat ini. Bagi sang Rahib, ini sabtu paling sial sepanjang sejarah hidupnya, bagaimana tidak. Ia harus tidur dengan selimut hujan sepanjang malam.
Sementara itu, sahabatnya Sang Yahudi boleh merasa bangga, ia telah menuaikan ibadahnya, bersyukur dan memuji kebesaran Sang Pencipta. Sang Rahib boleh jadi terganggu keteduhan fisiknya, tapi ia sudah mengampuni batinnya sendiri, bahkan sahabatnya sendiri, sang Yahudi. Dan sang Yahudi, menyesal ketika pagi ia datang mendapatkan sahabatnya, sang Rahib meninggal. Mati kedinginan. Ia menangis, sepanjang hidupnya ia tidak berhenti menyesali diri. Kalau saja ia merelakan satu hari sabatnya hilang untuk membantu Sang rahib, mungkin sekarang ini mereka masih bisa bercerita bersama. “Ah, Kalau saja saya bisa membantu membagi keteduhan bagi Rahib, mungkin saat ini kami masih minum kopi sore, bisa cakar KP bersama, menebak-nebak shio apa yang akan keluar besok, berapa angka kepala dan berapa angka ekor. Ah biasanya sang Rahib punya feling bagus untuk urusan angka kepala dan ekor”gerutunya. Apa boleh buat, semuanya memang terlambat.
Ia kehilangan sahabat, tapi ia membuat ia makin mengerti dan bijaksana. Kita bisa jadi seperti sang rahib, datang meminta tolong tidak pas waktunya, atau malah seperti sang Yahudi sibuk dengan urusan akhirat, lupa ada orang disamping minta tolong sampai lewat. Entahlah sang Rahib, atau Sang Yahudi mereka bisa teladan buat semua kita. Mudah-mudahan tidak teralami oleh kita. Karena sesungguhnya kita semua datang dari kumpulan orang-orang yang bisa jadi memiliki keduanya, keteduhan lahiriah berupa jaminan hidup.
Dan keteduhan bathin. Memiliki salah satu saja atau tidak punya kedua-duanya.
Tapi baiklah marilah berusaha supaya kita memiliki kedua-duanya.
Dan untuk itu kita perlu berjuang bersama-sama. Karena membuat orang lain bahagia itu bukan dosa. Terima Kasih atas atensinya. Tuhan Sertamu.
Eng di Atambua, 16 November 2003
Suatu ketika seorang Rahib datang ke rumah seorang Yahudi. Dan hari ketika ia datang itu, hari Sabtu. Kebutuhan sang Rahib kali ini adalah meminta pertolongan sang Yahudi untuk membantunya, membuatkan tempat berteduh. “Bu bisa Tolong beta ko!, ini agak darurat. Su mulai ujan, ma atap belum kelar, bisa bantu ko?, pinta agak menghiba dengan dialek Rotenya. Sayang sekali permintaan Sang Rahib tidak terkabul, Sang Yahudi tidak bisa banyak membantu. Ia hanya menjawab pendek “Bu ju datang sonde tau waktu na, ini hari batong ada ibadat. Sorri, sonde bisa diganggu, lain kali sa. Sebabnya, hari itu, hari sabtu. Seperti biasa sang Yahudi yang penganut fanatik Taurat tidak bisa melakukan sesuatu apapun pada hari Sabat itu.
Ketika pulang, sang Rahib Gelisah. Dan ia berdoa memohon ampun pada sang Pencipta untuk memberinya kesempatan bukan untuk siapa-siapa. Tetapi yang pertama-tama bagi dirinya sendiri, untuk bisa mengusir Kegundahan batinnya. Bagi Sang Rahib kalau kegalauan terus menghantuinya, itu sebuah dosa besar. Ada benarnya, karena hari itu ia tidak beroleh keteduhan. Ia berharap beroleh keteduhan dari sahabatnya melalui pertolongan sahabatnya si Yahudi tadi. Apa boleh buat, ia terganjar aturan main hari Sabat.
Ia kemudian berserah diri, “Bapa, mo terjadi na terjadi sa menurut perkataanMu. Dan hujan benar-benar turun sore harinya, lebat bukan main. Lalu, Hari Sabtu itu menjadi hari Sabtu yang berbeda makna bagi dua orang sabahat ini. Bagi sang Rahib, ini sabtu paling sial sepanjang sejarah hidupnya, bagaimana tidak. Ia harus tidur dengan selimut hujan sepanjang malam.
Sementara itu, sahabatnya Sang Yahudi boleh merasa bangga, ia telah menuaikan ibadahnya, bersyukur dan memuji kebesaran Sang Pencipta. Sang Rahib boleh jadi terganggu keteduhan fisiknya, tapi ia sudah mengampuni batinnya sendiri, bahkan sahabatnya sendiri, sang Yahudi. Dan sang Yahudi, menyesal ketika pagi ia datang mendapatkan sahabatnya, sang Rahib meninggal. Mati kedinginan. Ia menangis, sepanjang hidupnya ia tidak berhenti menyesali diri. Kalau saja ia merelakan satu hari sabatnya hilang untuk membantu Sang rahib, mungkin sekarang ini mereka masih bisa bercerita bersama. “Ah, Kalau saja saya bisa membantu membagi keteduhan bagi Rahib, mungkin saat ini kami masih minum kopi sore, bisa cakar KP bersama, menebak-nebak shio apa yang akan keluar besok, berapa angka kepala dan berapa angka ekor. Ah biasanya sang Rahib punya feling bagus untuk urusan angka kepala dan ekor”gerutunya. Apa boleh buat, semuanya memang terlambat.
Ia kehilangan sahabat, tapi ia membuat ia makin mengerti dan bijaksana. Kita bisa jadi seperti sang rahib, datang meminta tolong tidak pas waktunya, atau malah seperti sang Yahudi sibuk dengan urusan akhirat, lupa ada orang disamping minta tolong sampai lewat. Entahlah sang Rahib, atau Sang Yahudi mereka bisa teladan buat semua kita. Mudah-mudahan tidak teralami oleh kita. Karena sesungguhnya kita semua datang dari kumpulan orang-orang yang bisa jadi memiliki keduanya, keteduhan lahiriah berupa jaminan hidup.
Dan keteduhan bathin. Memiliki salah satu saja atau tidak punya kedua-duanya.
Tapi baiklah marilah berusaha supaya kita memiliki kedua-duanya.
Dan untuk itu kita perlu berjuang bersama-sama. Karena membuat orang lain bahagia itu bukan dosa. Terima Kasih atas atensinya. Tuhan Sertamu.
Eng di Atambua, 16 November 2003