Pagi tadi,
saya baru saja melihat hasil cetakan stiker dan kartu untuk sosialisasi caleg.
Lumayan hasilnya, dan itu hasil kerja dari kakak perempuan tertuaku. Lalu, saya
langsung menelponnya, kami bicara sebentar,
ucapan terima kasih dan beberapa komentar lainnya.
Saya
membayangkan wajahnya, ingat dengan semua yang sudah pernah Ia lakukan kepada
kami semua adik-adiknya sampai hari ini. Dia melakukan semua yang bisa dia
lakukan, persis seperti orang tua kami kerjakan. Diam-diam aku bersyukur, Tuhan
memberinya kepada kami, keluarga sederhana ini.
Cerita 2
alinea diatas, memang sengaja saya paparkan untuk menerangkan pikiran saya pagi
ini terhadap makna dari sebuah momen waktu bernama meluangkan waktu.
Di hidup
ini setiap manusia mesti memiliki waktu luang, bagi dirinya sendiri atau dengan
orang lain. Kalau mau dihitung, kira-kira sudah berapa banyak waktu luang yang
bisa kita gunakan untuk melakukan sesuatu. Atas nama pekerjaan, kesibukan dan
rutinitas. Alhasil, sering kali kita justeru tidak punya waktu luang. Maka
orang mulai berusaha untuk meluangkan waktunya demi melakukan sesuatu di luar
rutinitasnya yang tersita untuk alasan-alasan tadi.
Kakak
perempuanku itu, sebetulnya terlalu sibuk untuk mengurusi hal-hal seperti ini.
Membayangkan aktivitasnya setiap hari; pegiat sosial, bantuan hukum, penelitian,
diskusi pergerakan kaum perempuan, perlindungan anak, seminar, ditambah urusan mengajar
dan bimbingan mahasiswa, sepertinya sudah cukup membuatnya terlihat sibuk dengan
rutinitas macam begitu. Belum lagi ditambah dengan waktu buat suami, anak-anaknya dan buat keluarga
lainnya. Dan, dia masih menyempatkan diri, meluangkan waktu melakukan sesuatu
yang sebetulnya jauh dari urusan sehari-hari.
Stiker dan
kartu caleg. Barangkali terlihat sepele, tapi itu hasil kerjanya. Bagiku berarti,
karena selalu ada pesan tentang nilai,
bahwa betapa kami selalu saling menjaga, mengasihi satu sama lain hingga akhir
hayat. Dia melakukannya hanya dengan meluangkan waktu. Diantara banyak hal, dia selalu saja
menyentuh kami dengan cara yang berbeda sambil tetap tersenyum.
Kisah kita
bukan itu. Ini urusan kakak-adik, urusan bagaimana memperkuat tali rasa dengan
cara-cara yang sederhana namun dasyat. Barangkali dia terbiasa melakukan
sesuatu dengan tangannya sendiri. Dan hal itu yang sampai hari ini tidak bisa tergantikan dengan apapun. Nilai
terlampau dalam.
Semoga anda
juga mengalaminya, mendapat sentuhan dari orang-orang yang anda kasihi,
siapapun dia. Atas nama kasih sayang, berani meluangkan waktu diantara belenggu
rutinitas, hanya demi membuat anda bisa tersenyum dan menyimpan kebahagiaan di
hati.
Ma Nona,
terima kasih banyak, sukses selalu dan Tuhan sertamu.
Eng di
Motabuik, 17 Desember 2013